Senin, 10 Mei 2010

Quos Deus vult perdere, prius dementat…………

This Story Original BY Istie Flow= Lord Memoire

BAB I - MY HELL


Sepotong harapan untuk kehidupan yang mengalun pelan dalam darahku,
Dalam nyawaku, dalam anganku dan dalam perhelataanku..
Menanti dan berbisik dengan kematian..


Jaman baru telah bergulir
masa yang kelabu mengukir terang dalam perjalanan
mengabarkan asa dan harapan yang memupus
dengan keberadaan kursi-kursi dewa
Sang pencabut nyawa.

Aku berdiri diantara nisan yang membeku
melantunkan syair orang-orang tak berbentuk
yang menjadi bahan tertawaan langit.
“Kami berkabung, tak tahukah kau itu?”

Desiran pasir mengabarkan kabar gembira
padanya yang bagai baja
berjalan diantara kegelapan
Sang malaikat yang enggan menyapa
dan memberikan senter kebahagiaannya

Senyuman mengambang diantara air yang
enggan menyapa sang surya
di sana tercetak nama mereka-mereka
yang telah terlantar oleh dunia..
oleh kegentiran dan tirani
yang bahkan dengan seogok daging dan
darah tak akan pernah mengaburkan
dendam yang telah terukir
di dasar air.



Quos Deus vult perdere, prius dementat…………

Dunia ini adalah neraka bagi yang berpikir tentang sesuatu yang seharusnya tak boleh mereka hidupkan. Itu semacam kutukan mengerikan bagi keadaan hening yang timbul. Lebih-lebih jika waktunya tak tepat. Ada sebuah kehidupan yang dinamakan Post Obitum. Kehidupan para roh dan beberapa orang yang ingin dirinya mati..

King of darkness

Matahari telah kelam, hujan mengguyur dengan de-ras. Desiran air di atas atap yang patah membawa kehe-ningan bagi sang penyair yang mencoba terlelap dalam bayang-bayang seorang manusia yang beradap. Ia ber-mimpi tentang begitu indahnya sebuah kenangan itu jika sembari keajaiban dan kebahagiaan mampu bersatu mem-bentuk suatu bayang—dimana hanya keadilan saja yang nampak. Namun kemudian ia kalut dengan bayangannya sendiri saat ia mencoba tegar dan terjaga dari tidurnya. Air matanya menetes. Perlahan-lahan namun penuh dengan desahan panjang tentang sebuah ketegaran kehidupan. Ia pun menoleh ke samping. Dilihatnya semuanya masih utuh, masih sama, masih bisu, dan masih membeku. Ia masih berada di sana, dimana arti sebuah kebahagiaan terasa jauh dari kenyataan. Ia pun bersandar, gadis itu—gadis yang selalu ingin mengalunkan nada-nada bahagia-nya di atas dunia. Biar semua orang tahu bahwa ia adalah bagian dari orang yang ingin merebut kebahagiaan itu, kedamaian yang lebih mahal dari istana emas jaman dahulu. Yang menjadi rebutan, menjadi angan. Ia meniup lilin kecil yang menyala terang di dekat tempat tidurnya, kemudian menengok kearah jendela lonjong yang penuh debu dan kotoran tipis. Melihat burung-burung berbisik berterbangan di dekat pohon besar tempat ia bercerita banyak hal tentang dunia, tentang mimpi dan tentang harapannya. “Namaku Marry Harrison—setengah arti dari ucapan selamat dan bahagia. Tapi apa kau mampu tengok bahwa aku terlihat sangat bahagia?” katanya, pada beberapa burung yang terlihat mendengar. Namun burung malam itu tiada mendengar. Ia hanya melihat, menatap seorang gadis berambut gelombang pirang yang menengoknya dengan tatapan sendu. Entah apa maksudnya. Namun burung itu adalah makhluk Tuhan, kadang ia mendengar dan kadang ia tahu yang sesungguhnya. Gadis itu hanya diam setelah beberapa kali ia meneteskan kembali airmatanya. Ia seolah butuh teman bicara, suaranya begitu parau, beberapa kali ia terus memegangi dadanya, seolah gumpalan dalam tubuh itu tak lelah bergoyah dengan dasyat hingga mem-buat gadis mungil itu merasa kesakitan. Jantungnya bak terkoyak oleh kesedihannya. Ia frustasi dan kadang ia me-nyalakan nasib jika keadaannya seperti itu. Namun apalah arti semuanya, karena nasib akan tetap berjalan sekali pun kau akan katakan ribuan kali untuk mencacinya.
Ia mendesah pelan, dan mengusap airmatanya. Mencoba tersenyum dan sadar bahwa ia sungguh ber-untung karena masih hidup hingga kini. Sebuah keberun-tungan yang luar biasa yang dimiliki mereka yang ter-hempas oleh takdir.

“Dunia itu bisu sekarang, keheningan, kebahagian menjadi sesuatu yang utuh bahkan sulit untuk dibedakan. Kadang sedih berkepanjangan, kadang bahagia dalam jaga dan khayalan kosong. Aku tak tahu arti hidup ini. Tak me-ngerti, namun aku hanya mampu berpikir aku tak pantas mengeluh karena siapalah aku ini. Aku hanyalah embun yang akan dilupakan dunia, yang akan di pandang sebelah mata kaum beradap dan di caci majikan yang murka!” ia kemudian menunduk, menutup jendela kamarnya dan me-lihat bahwa kamar gelap miliknya itu tampak sangat su-ram. Tempat tak layak untuk sebuah rumah yang cukup megah. Tempat tak layak untuk mereka yang bekerja keras. Yang setiap malam selalu berdoa memanjatkan pada Tuhan agar segalanya tampak indah keesokan harinya, hari dimana ia akan terbebas dari sebuah kemalangan.
Ia pun mendekati meja, meraih sebuah diary kumal yang jarang terjamah dan berdebu. Debu-debu itu seolah ikut andil dalam banyak hal. Menyaksikan kehidupannya, menyaksikan bagaimana ia terus bertahan melawan ke-gentiran hidup.

Ini adalah kisahku, perjalananku seorang yang bukan apa-apa
yang akan menegakkan seluruh jiwanya
Demi sebuah harapan…dan demi cita-cita seorang manusia
yang derajatnya tak lebih buruk dari
seorang budak….


an mencoba apapun yang kumau. Aku ingin hidup dengan segenap jiwa meski hempasan nasib membuatku tahu akan waktu, meski aku tahu bahwa aku hanyalah layang-layang tak bersayap perak yang mencoba untuk terbang keangkasa. Aku ingin jadi air yang tegar, jadi sosaku ingin hidup dengan bahagia, terus berusaha ok yang tak rapuh dan coba hadapi nasib dengan sebuah senyuman.

Marry Harrison, 25 Maret 3005


Kantor kediaman Kolonel Schlegel…..


“Kerahkan semua pasukan yang ada. Aku paling benci jika keadaannya benar-benar meruncing seperti ini.” Seorang laki-laki berperawakan besar kekar terus mengo-mel pada dua anak buahnya yang hanya terdiam men-dengarkan sang bos berbicara panjang lebar tentang per-tempuran mereka yang nyaris gagal. Pasukan meraka bah-kan banyak yang mati. Mereka kehilangan banyak nyawa dalam pertempuran dasyat itu. Sanak saudara mereka juga ikut dipertaruhkan didalamnya. Dan kini mereka bingung harus berbuat seperti apa sementara musuh mereka sudah siap mencekik leher mereka dengan tawa kemenangan yang akan terus meledak-ledak seumur hidup. Tawa dimana orang-orang itu akan melolong atau berpamer ria dengan kekuasaan mereka yang hebat karena mampu me-robohkan orang-orang payah dan tak berguna. Sementara atasan mereka dengan mudah akan mencopot jabatan mereka sebagai seorang yang punya kedudukan. Seorang yang diakui masyarakat, seorang yang tak akan tertindas dan seseorang yang tak akan menangis sepanjang waktu—seperti seorang bangsawan—yang akan selalu hidup de-ngan senyuman, mencaci yang lemah, dan senantiasa me-rasa terhormat tanpa memikirkan apakah ia mampu hidup keesokan harinya dengan selamat atau tidak. Apakah hi-dup mereka akan terkantung-katung dan itu artinya ke-bahagiaan akan lenyap dari bibir mereka. Mereka akan ja-tuh miskin dan kemungkinan terburuk mereka akan jadi seorang budak! Orang-orang yang akan selalu dianiaya di dunia ini. Kolonel tampak pucat, ia berjalan mondar-man-dir bingung. Keriput diwajahnya semakin terlihat, dan wajahnya yang lebar terlihat semakin lebar karena sering stres. Entah apakah karena akhir-akhir ini selalu ada saja berita buruk yang terlontar padanya. Membuat ia kadang tak bisa benar-benar menikmati hidupnya. “Baiklah, apa ada pertanyaan?” katanya akhirnya mencoba mengakhiri pembicaraannya, duduk dikursi sambil menyedot cerutu-nya lalu mengedarkan pandangan kesekeliling.

“Pasukan Wagon-Lit (pasukan berbentuk roh yang bisa membunuh orang dengan sadis, salah satu pasukan The Clam) terlalu berbahaya, Kolonel. Kami bahkan tak mampu menandingi mereka. Mereka selalu punya bala kekuatan besar. Mereka bahkan mempunyai bala tentara Obiit (bala tentara setan milik The Clam)—Itu kekuatan dari bala tentara setan. Kekuatan yang seharusnya tak per-nah ada dimuka bumi ini,” kata seseorang berkumis tebal. Yang satunya hanya mengaguk, menundukkan kepalanya, mengatakan setuju dengan sikapnya.

Kolonel hanya menatap wajah Seil sesaat. Ia sudah tahu jawabannya. Jawaban yang memang akan ia dengar saat peperangan yang sesungguhnya tak ingin ia lihat ha-rus berkecambuk di depan matanya, di depan hidupnya. Musuhnya memang terlalu tangguh. Namun ia adalah seo-rang kesatria yang memang harus bertarung. Untuk itu Revenant ada dan menunjuknya sebagai pengakhir per-sengketaan itu. Namun rasa gemetar sosok tua itu terus-menerus terpancar. Ia tahu kemampuannya memang tak sebanding dengan sosok yang menamakan perkumpulan mereka The Clam (Perkumpulan orang-orang dunia yang cukup ditakuti di dunia hitam) itu. Entah sebenarnya makhluk apa mereka itu hingga setiap waktu mereka terus bertambah kuat saja. Kini ia beranjak dari tempat du-duknya, masih mondar-mandir bingung. Lalu matanya menatap kearah jendela lonjong yang terbuka lebar. Hujan deras mengguyur tempat itu. Membuat sekeliling tampak suram dengan pepohonan rimbun yang menutupi nyaris seluruh bagian jendela.

“Seharusnya aku tahu kalau mereka punya Obiit dan monster-monster itu. Tapi bagaimana mungkin kita bisa mencari bala tentara yang lebih dari mereka—para Mort. Rex pasti akan menyadari bahwa kita tak akan me-nang kali ini,” katanya berekspresi cemas. “Dan mungkin mereka akan menghukum kita, terparah pangkatku akan dicopot oleh Advant-Coureur (sederajat perdana mentri dunia).” Lanjutnya, menyilangkan kedua tangannya, ber-sandar dengan nyaman dan menyerngitkan alis. Dia jadi terlihat begitu tua karena itu. Wajahnya yang putih terlihat tampak pucat—kehitaman. Namun dia tak henti-hentinya menyiratkan kegelisahan yang mendalam dimatanya yang kecoklatan. “Para Advant-Coureur yang baru sangat teliti. Mereka bahkan telah membentuk Conseil d’etate (para mentri dunia) untuk mencari tahu apakah tugas yang selama ini diberikan pada kita beres atau tidak!”

“Tuan, selama ini yang pernah saya dengar, Conseil d’etate punya banyak anak buah yang melebihi seratus orang dipenjuru dunia. Mereka bahkan punya komunitas aneh dan tak bergantung pada blok-blok yang diciptakan negara Timur dan Barat,” ujar Seil.
“Kau benar, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang utusan handal dan tak terduga,” sambar Ko-lonel dengan muka masam. Ia tahu betul siapa utusan itu, orang-orang berbakat yang akan selalu mengabdi pada sosok penguasa dunia yang duduk di jaringan Revenant (Penguasa dunia-melebihi PBB, jaringan solid yang dibangun sejak dunia dalam masa keruntuhannya). Manusia-manusia terpilih yang mampu lolos seleksi ketat-nya.

“Tuan, tak tahukah Tuan siapa ketua Advant-Cou-reur yang begitu terkenal itu—yang mampu memecahkan berbagai masalah yang ada? Katanya kekuatannya benar-benar melebihi ketua The Clam. Saya mendengar sendiri dari atasan saya yang ada di Berlin kalau Advant-Coureur itu ternyata masih begitu muda—ia bahkan masih remaja. Umurnya tak lebih tua dari delapan belas tahun. Beliau juga mengatakan kalau anak itu ternyata masih bersekolah di sekolah paling ternama dan agung yakni, The Grizzlies, Tuan Kolonel. Sekolah penuh dengan orang-orang berke-las dan berkemampuan hebat!”
“Aku pernah mendengarnya juga, Seil. Tapi mung-kin itu hanyalah omong kosong belaka. Tak banyak orang yang bisa membuktikan kebenaran itu, dan meskipun aku tak pernah sekali pun melihat seperti apa sosok Advant-Coureur yang hebat itu, tapi seandainya memang benar be-gitu dia pasti orang yang cukup luar biasa yang mampu mengendalikan sekelilingnya dengan cermat sehingga dia bisa diangkat menjadi Advant-Coureur di usia semuda itu.”

“Para Tertua tak akan melakukan hal itu jika dia masih bersekolah,” ungkap Seil. Dia benci jika memikirkan begitu mudanya ketua orang-orang tertinggi dijaringan Revenant itu. Dia kini bahkan telah mengalahkan pamor kekuasaan Lord Angelo yang selama tujuh turunan selalu nomer satu di jaringan Revenant setelah Rex.
“Itu bukan urusanmu, Seil. Tapi yang pasti yang ha-rus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana cara meng-hadapi para pembangkang itu dan menghindari para utusan Conseil d’etate. Mereka pasti sudah tahu ancang-ancang kita dan mereka akan mengabarkan perkembangan kita pada atasan mereka. Mereka terkenal sebagai mata-mata terhebat dan itu berarti kita dalam masalah besar.” Kolonel mendesah, tampak ketakutan jika seluruh harta yang kini dimilikinya hilang hanya karena kecerobohannya sendiri. Dia tak akan mungkin melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukannya ketika ia masih muda. Dimana hartanya yang berlimpah dan kekuasaan tinggi orang tuanya yang begitu tak terkira hilang hanya karena begitu bodohnya dirinya yang tak tahu betul seperti apa musuh-musuhnya itu.
“Soal para Obiit, saya punya solusinya,” kata Ed-ward yang kini mulai angkat bicara. Laki-laki itu mende-kati Kolonel. Masih terus mendekapkan tangannya ke-bawah, menunduk lalu menatap atasannya yang sangat dihormatinya. Hingga rasanya dia ingin sekali berkorban apapun demi orang itu. Ia telah menyelamatkannya, me-nyelamatkan manusia tak berdaya yang ada di tengah-tengah keheningan dunia. “Tapi kalau para utusan itu saya tak jamin. Namun ada kabar kalau di sebuah negara kecil yang bernama Mon Ami tinggal seorang anak yang me-miliki bakat luar biasa. Mereka mengatakan kalau dia ada-lah salah seorang calon Advant-Coureur masa depan. Bulan ini, dia akan masuk ke sekolah The Grizzlies. Dan kita bisa memanfaatkan dia untuk mengelabui Conseil d’etate, dan Tuan pasti akan terbebas dari hukuman itu.”
“Begitukah menurutmu, Edward?” Tanya Kolonel Shlegel, ia mendengarkan dengan seksama, ada pancaran harapan diwajahnya. “Aku tak yakin itu bisa berhasil, Edward” komentarnya. “Menurutmu sebesar apa kekuatan anak itu?” Kolonel menatap Edward serius lalu mem-perhatikan Edward, bibirnya tersenyum, kedua alisnya ber-temu dalam kerutan serius dan memperlihatkan arsip-arsip yang dibawanya dalam koper yang ada disampingnya.

“Meski saya juga tak seberapa yakin, tapi kabarnya dia memiliki batu Cherub yang legendaris itu, Tuan. Itu adalah batu yang mampu membuat orang menjadi hebat dan hidup lebih lama dari manusia biasa. Kehebatan mirac-le abad ini, Tuan!” serunya. Kemudian dia memperlihatkan arsip-arsip itu pada Kolonel. “Ini adalah berkas-berkas ten-tang dia. Gadis itu adalah anak perempuan keturunan sa-lah satu Elder tertua (orang-orang yang dipercaya punya kekuatan suku kuno yang musnah). Konon kekuatannya sangat tak terkira, Tuan. Dia pasti akan langsung masuk Level tinggi di The Grizzlies School.”

Kolonel berdehem. “Ini luar biasa,” katanya menu-tup arsip itu, mengamati dengan serius foto seorang anak kecil berambut seperti jerami bersama dengan laki-laki tua yang berumur sekitar enam puluh tahun. “Inikah dia?” Ta-nya Kolonel. Melihat raut muka gadis polos yang meng-gendong bonekanya dan memeluknya erat.

“Benar Tuan, dia memang anak itu. Tapi itu adalah foto saat dia masih kecil. Dia bersama dengan kakeknya yang meninggal beberapa bulan yang lalu karena pepe-rangan. Kini dia tinggal bersama ibu tirinya di Eldon.”

“Eldon? Itu daerah yang sangat terlarang! Bagai-mana mungkin kita bisa kesana jika kita tak punya lisen-sinya?” suara Kolonel mengeras membuat dengungan pan-jang di sepanjang ruangan itu. Seil dan Edward hanya me-nunduk. Lalu Edward maju. Dia mencoba memberanikan diri menatap atasannya karena misi itu. Kolonel menatap-nya masam.

“Itu benar, Tuan—Kolonel. Soal itu, Tuan jangan khawatir sebab saya punya anak buah yang mampu untuk diandalkan. Mereka akan mengurusnya. Mereka bahkan telah mendapatkannya untuk beberapa urusan kemarin. Lisensi khusus daerah terlarang di dunia yang memang su-lit untuk didapatkan. Namun dengan bantuan orang-orang yang hebat, masalah itu bisa teratasi. Kini mereka punya dua lisensi khusus untuk masuk kekawasan terlarang itu.”

“Aku tak suka berurusan dengan suku Eldon! Suku paling menakutkan yang seharusnya tak boleh kita dekati. Kau tahu kan bahwa negara itu nyaris hancur!” kata Ko-lonel meneguk minumannya dan memperhatikan lagi ga-dis kecil berambut gelombang yang menggendong boneka panda yang besar itu. “Dia tak terlihat punya kemampuan itu,” lanjutnya. Menaruh cangkirnya diatas meja lagi dan kembali bersandar dikursinya yang empuk dan memper-hatikan kembali foto itu.

“Oke, aku serahkan semua urusan ini pada kalian!” serunya. “Aku minta pada kalian untuk lebih berhati-hati dengan misi ini. Tapi yang kubingungkan apakah dia bisa dipercaya? Mungkin saja masih banyak orang diluar sana yang juga mengincarnya.”

“Saya pasti akan berusaha untuk mendapatkannya terlebih dahulu,” guman Seil percaya diri. Dia menunduk sambil meletakkan topi panjangnya keatas meja. Lalu du-duk di kursi depan meja Kolonel dan memberikan bebe-rapa foto anak laki-laki berumur belasan tahun pada laki-laki tua itu yang memicingkan matanya. Kolonel menyer-ngit menatap Seil. “Saya tahu ini memang terkesan aneh!” seru laki-laki itu, “tapi saya akan mengirim anak saya un-tuk bersekolah di The Grizzlies School dan mengawasi gadis itu. Tentunya dia bisa dipercaya. Bahkan dia punya kemampuan lebih.”

Kolonel tertawa pendek kemudian ekspresinya be-rubah kaku. “Anak?” ulang Kolonel mengakak sambil me-nyengir, lalu menatap Seil sinis. “Tak tahukah aku bahwa kau hanya punya seorang anak yang berumur sembilan belas tahun?!” erangnya. “Itu konyol, Seil. Bahkan The Grizzlies School tak akan pernah menerima remaja yang berumur lebih dari delapan belas tahun. Apa kau pikir mereka tak bakal tahu akan hal itu?!” bentaknya. Seil ha-nya diam beberapa saat menunggu Kolonel meredam amarahnya. Hanya saja laki-laki tua itu seperti sudah keba-karan jenggot. Dia mengumpat dengan mulut kecilnya ya-ng cemberut. Dia sudah muak mendengar apapun yang tak membuatnya senang.

“Saya tahu,” kata Seil akhirnya. Suaranya terdengar pelan dan ringan “Tapi Tuan tentunya belum tahu kalau saya juga punya tiga anak angkat. Mereka saya adopsi dari beberapa negara yang pernah terlibat kemelut seperti Jerman dan Brazil. Untuk itu saya memberikan ini pada Kolonel,” kata Seil tersenyum, memberikan tiga buah foto anak remaja. Ada yang berumur kira-kira enam belas ta-hun, lima belas bahkan tujuh belas tahun. Seil menyo-dorkan anak laki-laki berambut coklat dan berumur kira-kira tujuh belas tahun. “Ini pasti cocok,” katanya sambil tersenyum kecil.

Kolonel memandang Seil sesaat, menatapnya dan merebut sebuah foto yang di sodorkan Seil padanya. Lalu dia terpana, memperhatikan dengan detail seorang anak laki-laki yang terlihat tinggi dan berparas suram difoto itu. Bertubuh tegap, berperawakan seperti orang Inggris keba-nyakan. Wajahnya samar dan jelas sekali ketabahan dan begitu kuatnya anak itu. Matanya yang sipit menyiratkan kesedihannya. Ia memakai kemeja putih berlogo Lepschy—sebuah sekolah menengah atas yang cukup terkenal di Eropa barat. Kemudian dia mengeleng pelan. “Dia mung-kin anak angkatmu, Seil. Tapi bagaimana dengan kemam-puannnya?” tanyanya. Kembali terhempas dikursinya dan mengerutkan alis lagi. “Aku tak mungkin memasukkan anak yang tak berpengalaman dalam urusan seperti ini. Itu terlalu berbahaya!” lanjutnya.

“Tidak, Kolonel. Dia adalah anak yang dididik ka-rena penuh dengan trauma kehidupan yang mengerikan. Dan dia adalah orang-orang yang tabah itu. Aku yakin dia pasti sangat cocok untuk dikirim ke The Grizzlies School—sekolah yang bahkan penuh dengan sekumpulan monster dari banyak negara di muka bumi ini!”

“Kau pikir dia siapa bisa seperti itu!” bentak Kolo-nel sambil menggebrak meja dengan kasar. Matanya lurus menatap Seil dengan geram.

“Dia adalah anak buangan dari Possum—daerah di ufuk Timur.”
Kolonel mengerjap. “Possum?” ulangnya tak perca-ya. Matanya menatap takut ketika kata-kata mengerikan itu terucap dibibir laki-laki yang memakai mantel hitam itu. Kemudian dia beranjak dari kursinya, tak percaya dan berputar-putar seperti orang yang membayangkan begitu mengerikannya negeri yang mungkin saja penuh dengan sekumpulan orang tak berdaya. “Itu tak mungkin, Seil—sebab kota itu…” kata-katanya terputus.

“Itu adalah kota mati yang telah ditinggalkan ba-nyak koloni beberapa waktu lalu karena perang dasyat ya-ng mengerikan,” lanjut Seil memperlihatkan gigi-gigi ce-merlangnya yang putih bersinar. Kolonel mengeleng, ter-senyum samar pada Seil, menemukan harapannya yang pupus.

“Tak bisa kupercaya,” ujarnya. “Kau bisa menga-dopsi anak laki-laki dari tempat pembuangan seperti itu,” lanjutnya masih tak percaya dan menghampiri Seil yang berdiri tegap didepan meja Kolonel. Dia menepuk pundak sosok itu dan menghadap keluar Jendela. Angin malam berhembus begitu dingin. Ruangan yang penuh dengan ca-haya lampu itu tampak terang benderang. Seil mendekati Kolonel, dia tersenyum dan ikut memandangi langit yang tampak berkilau dari arah jendela itu. “Saya tahu dia pasti berguna,” ujarnya. “Dia adalah salah satu korban kenge-rian dunia ini. Kedua orang tuanya telah meninggal. Para The Clam yang telah membunuhnya. Dendam disekujur tubuhnya membuatnya bangkit dan menjadikan ia manu-sia yang jauh dari rasa belas kasihan. Dia pasti akan cocok berada di The Grizzlies—sekolah Revenant itu. Aku bah-kan tak mampu membayangkan bagaimana ia akan ber-temu dengan orang-orang seperti dirinya nanti. Mereka semua yang ada ditempat itu adalah para monster. Mons-ter dari berbagai bentuk kehidupan. Kadang kita tak mam-pu memilah sesosok manusia pun di sana. Semua tampak mengerikan. Dan bahkan, kita pun tak mampu membeda-kan mana teman mana lawan. Dunia kini di kuasai oleh ambisius, dan itulah yang membuat manusia tak lebih dari manusia terkutuk yang malang, yang selamanya hanya akan di kejar-kejar tentang apa itu keningratan. The Grizzlies School juga terkenal karena kengerian dan sistem pengajaran yang jauh dari normal. Tempat dimana mereka hanya punya satu tujuan, yaitu mengejar KEKUASAAN.”

“Kau benar, Seil. Kau harus segera mengirimnya. Buat anak itu jadi berbeda dan ingat, tugas kita adalah pengalihan Conseil d’etate. Mereka juga pasti mengirim anak yang akan jadi utusannya ditempat itu. Mereka ingin tahu seperti apa tempat belajar kaum abad ini yang begitu terkenal itu. Aku tak yakin ia akan mampu lolos sampai ujian Glaube. Sesuatu yang bahkan tak mudah untuk di-lakukan. Butuh pengorbanan besar dan kekuatan dasyat untuk sampai ketahap itu. Dan ingat! Kau harus dapatkan gadis itu lebih dulu dari pada seribu orang yang mungkin saja mengincar Cherub didirinya.”

“Saya mengerti Kolonel, dan saya pasti tak akan mengecewakan, Tuan!” seru Seil tersenyum pada Kolonel, kemudian menatap Edward yang hanya berdiri diam tak jauh darinya yang mendengarkan ucapan mereka dan tam-pak puas.
“Bagaimana dengan perang itu, Edward, benarkah kau tahu cara mengalahkan para Obiit dan Wagon-Lit itu?”

“Benar, Tuan. Dua monster itu hanya bisa ditak-lukan oleh tentara Jerman yang bernama Stark (kumpulan manusia super yang dilatih secara khusus)—itu pun kita harus mengirim panglima perang yang hebat. Mereka akan saya kirim dalam peperangan kali ini, dan saya yakin para Conseil d’etate (sejenis Menteri di Revenant) pasti tak akan memberhentikan Tuan dari jabatan Tuan sebagai Kolonel Revenant Baginda Schlegel!” seru Edward memberi hormat pada laki-laki tua itu. Dia membusungkan tubuhnya. Mera-patkan kakinya dan menunduk sambil tersenyum. Kolonel tertawa. Dia menyuruh Edward berdiri. Dia tak boleh me-lakukannya. Jika para penjaga tahu dia juga akan mati. Sama dengan bangsanya yang telah hilang ditelan bumi puluhan tahun yang lalu. “Aku bukan bagindamu lagi, Edward. Aku hanya seorang Kolonel. Dan itu berarti ne-garaku sudah tak ada. Mereka bahkan telah banyak yang mati. Jangan pernah katakan itu lagi atau jika ada yang mendengarnya maka mereka akan menyebutku peng-hianat. Itu sangat menyusahkan bagiku. Aku tak mau di-umurku yang lima puluh tiga ini harus mendekap dipen-jara. Aku pasti menyesal telah hidup!”

“Hamba tahu,” guman Edward, hanya menunduk pelan dan berdiri. Memakai topi serupa yang dikenakan oleh Seil kemudian menatap lembut atasannya itu. “Tapi Tuan harus tahu, bahwasannya kami yang masih bersisa dalam peperangan itu akan selalu mengagumi kekuatan Tuan yang sungguh luar biasa. Kesungguhan Tuan yang telah menyelamatkan kami—orang-orang yang terlantar dan tak berdaya sungguh mulia. Membiarkan kami hidup normal tanpa kerja keras yang mungkin mampu mem-bunuh kami dan menjadikan kami budak seumur hidup!” seru Edward—dia mengingat kembali peperangan dasyat yang tak pernah dilupakannya. Dia bahkan mungkin telah berhutang budi pada Schlegel—orang yang pernah menga-suhnya dan menyelamatkannya dari kekejaman dunia. Memperlakukan ia begitu baik, padahal ia hanyalah anak yang di pungut karena belas kasihan berlebih dihatinya. Anak yang seharusnya ikut terkapar dipemakaman. Dima-na rekan-rekannya terbaring tanpa nyawa, dan merindu-kan bagaimana dunia telah menelantarkan mereka dalam tangisan masal yang memilukan.

“Terima kasih, Edward. Kau memang pengikut se-tiaku. Aku ingin kalian berdua bekerja sama. Kita tak bo-leh lengah. Jangan biarkan seorang pun anggota Revenant lain tahu tentang rencana ini termasuk The Clam. Jika sampai para The Clam tahu tentang rencana kita atau bahkan Conseil d’etate. Kita akan berakhir sampai sini. Kalian ha-rus lebih waspada. Jangan biarkan rencana ini sampai bo-cor atau itu berarti kita akan tamat.”

“Baik, Kolonel!” seru keduanya sambil berjalan me-ninggalkan ruangan itu. Kolonel menghempaskan tubuh-nya dikursi memandangi arsip-arsip yang menumpuk di-depannya. Kemudian dia memandangi foto anak laki-laki itu. Anak yang akan diutus untuk mengawasi gerak-gerik gadis dari Eldon itu. Mereka akan merencanakan sesuatu yang besar. Sesuatu yang tak terduga. Dan tujuan pertama mereka adalah The Grizzlies School. Sekolah kengerian yang tak terkira di abad ini. Itu adalah sekolah dimana kau akan memulai kekuasaanmu di dunia.

Keesokan Harinya Di sebuah pulau Eldon……

Diary orang yang menangis tanpa air mata…..
Aku menunggu keajaiban mengukir dalam darahku saat mataku terpejam di malam hari. Aku ingin menulis keindahan malam yang menemaniku menelan kegentiran hati yang tersiksa kebengisan waktu. Hati mengiris melihat mayat sahabat terkapar di depan mata. Mengulurkan tangan sang Dewa pencabut nyawa yang dengan senang hati membawakan keranda terakhirnya. Aku menunggumu……kedamaian yang di lenyapkan bumi sebelum aku ada. Dimanakah kau? Tak bisahkah kau mampir di hidupku sebentar? Sebelum aku sadar bahwa aku akan berperang. Sebelum aku sadar bahwa aku juga akan jadi bagian yang di abaikan dunia………..

Marry Harrison—sehari sebelum aku ikut berperang…

Diary itu tergeletak di sebuah ruangan dingin di ruangan atas yang pengap dan penuh debu. Kosong dan tak ada hawa kebahagiaan disana. Hanya kesunyian yang menyi-ratkan begitu dinginnya tempat itu.


“Marry!” teriak seorang wanita agak tua pada anak perempuan yang kini berlari kencang menerobos pepo-honan dan mencari asal suara wanita didalam hutan gelap yang penuh dengan pepohonan rimbun. Gadis itu berlari sangat kencang hingga rasanya seperti sebuah bayangan yang melesat sangat cepat. Lalu dia terhenti pada sebuah gubuk tua yang penuh daun rontok. Mata wanita tua itu melotot pada gadis itu. Dia menumpahkan air ke baju ga-dis itu yang kumal dan melempar tubuhnya ketanah. Mata-nya berkilat-kilat marah, lalu menatap gadis tak berdaya yang hanya mampu menahan sakit di sekujur tubuhnya.

“Apa yang kau lakukan lagi?!” teriaknya seperti lo-longan serigala yang marah. Matanya melotot dan alisnya menyerngit satu senti. Kemudian dia melihat gadis itu ter-tunduk ditanah sambil bersujud. Membersihkan air yang terguyur di tubuhnya dan mengeringkannya. “Nyonya,” desisnya. Pukulan kuat mendarat di pipi kanan gadis itu. Dia merontah dan terjatuh. Lalu dia bangkit lagi, mencoba memapah tubuhnya untuk berdiri. Memar dipipi kanannya terasa perih. Lalu dia benar-benar besujud kembali. “Maaf-kan saya, Nyonya. Saya tak pernah bermaksud mengambil buah-buahan itu. Tapi segerombolan anak mengambil uang saya dan saya tak bisa membalas mereka karena me-reka adalah seorang bandit. Mereka akan menyeret saya kepenjara tua itu. Saya tak mau. Karena saya lapar jadi saya…”

“Kau memang tak tahu diri. Aku mengasuhmu ka-rena dulu orang tuamu adalah majikanku. Kini Bagaimana rasanya menjadi seorang pembantu yang harus dipukuli setiap hari? Begitulah yang kurasakan dulu. Aku sangat menderita. Sekarang mereka telah mati, dan kini giliranmu yang harus menerima penderitaan yang sama.” Wanita itu maju. Matanya masih berkilat-kilat marah. Lalu dia menye-ret tubuh gadis itu masuk kedalam gubuk yang reot. “Ber-diam dirilah disana sampai aku menyuruhmu pergi dari tempat itu. Jangan pernah meninggalkan tempat ini atau kau akan mendapat siksaku yang lebih kejam dari tadi!” serunya menutup pintu gubuk itu dengan kasar dan mem-buat perisai dengan dedaunan yang rontok. Lalu dia pergi meninggalkan tempat itu. Merasa puas dengan apa yang barusan dia lakukan pada gadis itu. Dari kejauhan dia menatap gubuk itu lagi. “Dia akan mati ditempat itu,” de-sisnya sambil tertawa pendek. Kemudian dia meninggal-kan hutan itu.

Malam yang mencekam membaur diantara suara lolongan serigala dan hewan hutan yang berteriak. Men-coba memperlihatkan kekuasaan mereka. Marry hanya ter-diam di dalam gubuk kecil itu. Menatap sekeliling yang sepi. Lalu dia bersandar diantara jerami yang agak kuat. Dia mengusap luka pukulan dipipi kanannya. Pelan dan merasakan memar itu. Dia merasa kulitnya seolah teriris. Kemudian dia mencoba menutup matanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa karena disana dia telah dihukum. Dia ter-lalu menderita hingga dia tak punya siapa-siapa lagi kini. Seluruh keluarganya telah mati. Mereka bilang mereka mati karena berperang. Tapi bahkan dia sendiri tak pernah tahu bagaimana semua keluarganya bisa mati secara ber-samaan seperti itu. Ia ingin sekali tahu. Tapi bibinya selalu saja membentaknya, mengomelinya dan menceritakan hal yang sama yang samar dan tak jelas. Seolah ada yang ia sembunyikan darinya. Entah dendam apa yang sebenarnya membuat orang yang kini telah menjadi bagian keluar-ganya itu membencinya. Namun, meski sesulit apa pun hi-dup yang dia jalani kini. Marry mencoba bertahan. Dia tahu, kalau dia memang akan menjalani hal semacam itu terus-menerus, dan dia tak ingin mengeluh.

Wanita itu masuk kedalam rumah yang besar. Ber-lapis marmer dan memiliki banyak pintu yang tinggi. “Bibi!” teriak seseoang gadis berambut pirang yang lang-sung meraih tubuh wanita itu untuk dipeluknya. Sosok itu tersenyum pada gadis itu dan melepaskan pelukan erat-nya. “Kau tak boleh manja, Gina kau bukan anak kecil lagi, ingat! Mana kakekmu?” tanyanya menyelidik diantara ru-mah yang tampak sepi.
“Dia kekota. Aku tak mengerti mengapa kakek be-gitu suka berjalan-jalan kesana padahal peperangan masih terus berkecambuk. Apa ia akan baik-baik saja jika terus mengunjungi teman-teman anehnya itu?”

“Tentu, kakekmu adalah seorang Elder. Itu berarti dia punya kemampuan lebih. Kau tak perlu cemas akan hal itu,” kata wanita itu sambil bersandar pada sofa.
“Bibi, benarkah aku akan masuk ke The Grizzlies School bulan depan?” tanyanya mendekati bibinya dan mencoba merayunya.
“Ya, kau dapat ijinnya. Tapi apakah kau sudah siap dengan ujiannya yang berat, Gina?”
“Tentu, bukankah bibi sangat tahu kalau aku gadis paling berbakat disekolahku. Mereka bahkan menjulukiku si jenius!”
“Itu benar, tapi kau harus berhati-hati. Sebab tem-pat itu sangat tak bersahabat.”
“Bagaimana dengan Miyuki? Mungkinkah dia juga akan pergi kesana?”
“Ya, Miyuki dan kau pasti yang akan mewakili se-kolah dan pergi ke Grizzlies School. Kalian akan jadi orang hebat nanti. Mungkin saja salah satu Conseil d’etate.”
“Aku tak begitu menyukainya,” guman Gina mera-pat ke bibinya. “Bagiku menjadi Conseil d’etate adalah hal yang membosankan. Bagaimana mungkin setiap hari kita hanya disuruh oleh para Advant-Coureur itu? Itu sangat menggelikan bukan?! Aku ingin akulah yang menyuruh mereka. Aku akan berusaha menjadi salah satu Advant-Coureur itu dan menjadi orang yang berkuasa didunia ini,” lanjutnya.

Wanita itu tertawa kecil. “Kau memang selalu pe-nuh dengan ambisi, Gina!” ujarnya sambil mengelus ram-but keponakannya itu. Lalu seorang laki-laki tua masuk dari arah pintu depan. Wajahnya murung. Dia membawa sesuatu yang besar didalam tasnya yang mungkin cukup memuat seratus buah apel besar. “Mana Marry, kenapa aku tak melihatnya?” tanyanya menyelidik diantara suasa-na yang hening. Gina terlonjak dari pangkuan bibinya dan berdiri. Wanita itu pun sama. Ia mengerjap dan menyam-but laki-laki tua yang tampak lelah itu. Gina kemudian kembali kekamarnya karena melihat raut wajah kakeknya yang seperti habis di bunuh orang. Ia meski tinggal ber-sama kakeknya entah mengapa kakeknya jarang sekali memperhatikan dirinya. Sosok itu lebih cenderung mem-perhatikan Marry Harrison—gadis numpang yang mirip pelayan dan bodoh. Ia bahkan sering sekali menjadi bahan ejekan di sekolah.

“Dia di hukum,” kata wanita itu membawakan tas besar itu dan menaruhnya diatas meja. Laki-laki itu itu menatap heran. “Dihukum?” ulangnya. Lalu dia duduk di-antara sofa empuk yang ada diruang tamu.

“Benar, ayah. Dia dihukum karena dia telah berani mengambil buah-buahan dari kebun Duke Hampton!” seru wanita itu. Duduk bersebrangan dengan laki-laki tua itu dan memberikan secangkir teh dingin yang dituangkannya dari teko besar dimeja.
“Dimana dia dihukum?”
“Hanya menyuruhnya menghabiskan malamnya digubuk yang ada dihutan.”
“Hutan!” teriak laki-laki itu marah. “Tak kau lihat-kah bahwa tempat itu sangat berbahaya jika malam?!” te-riaknya. “Kau bisa membunuhnya,” lanjutnya lagi.
“Dia sudah terbiasa dengan tempat itu, ayah. Aku ingin dia tahu sopan santun, dan mematuhi peraturan ru-mah kita yang sudah turun temurun. Ia tak boleh mencela seorang Duke!”
“Kau gila, Ruth. Kau mungkin akan membunuh a-nak dari majikan kita Yang Agung! Kau telah menghianati keluarga majikanmu yang selalu berpihak padamu.”
“Agung!” cela Ruth. Matanya berapi-api. Dia men-cibir dan menggigit bibirnya.
“Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang pem-bunuh yang bahkan tak pantas hidup didunia ini.”
“Kau berhianat!” teriak laki-laki itu mengerang ma-rah.
“Ayah, tidakkah ayah tahu bahwa keluarga anak itu adalah seorang Piudans? Mereka adalah pembunuh baya-ran yang bahkan terlalu sering membuat makam didunia ini. Ayah, tak tahukah ayah berapa banyak orang yang di-bunuh mereka? Mereka memporak-porandakan dunia ini. Mereka juga yang menghancurkan kepercayaan dan dunia ini hingga menjadi terbelah-belah. Untuk itu tak heran jika akhir dari kehidupan mereka adalah pembantaian sadis. Mereka di bantai oleh kawanan yang menyatakan diri me-reka The Brave. Dan mereka meruntuhkan generasi ke-luarga Piudans yang terhormat. Tak terkalahkan dan kaya raya itu? Lalu menyisahkan seorang anak perempuan kecil yang seharusnya ikut mati bersama kedua orang tuanya. Tidakkah itu adil?!”
“Tutup mulutmu, Ruth. Ingat! Kau adalah pelayan dirumah itu. Dan kau pikir berkat siapa kau jadi sekaya ini?”

“Tidak, ayah. Semua ini pantas. Pantas karena aku telah mengasuh anak mereka dan menyelamatkannya dari kawanan yang mungkin menginginkan lehernya. Mereka tak pernah tahu bahwa keluarga Piudans masih bersisa seorang, dan dia adalah Marry. Dan mungkin suatu hari nanti dia akan jadi semengerikan seperti orang tuanya, bu-yutnya atau bahkan leluhurnya itu. Mereka semua adalah keturunan pembunuh. Dan mungkin saja dia juga nantinya akan menjadi seorang pembunuh—seorang sampah!”
“Dia tak akan pernah dapatkan itu, karena aku ya-ng selalu mengasuhnya!” bentak laki-laki itu sambil mem-banting sendoknya kelantai.
“Ayah, aku menghukumnya karena ingin melumati darahnya dan membuang turunan pembunuhnya dari se-kujur tubuhnya itu.”
“Tidak! Kau sudah berhianat terlalu dalam pada orang yang menolongmu, menyelamatkanmu dalam pepe-rangan yang mengerikan.”
“Aku tahu,” kata Ruth, meredam amarahnya dan memandang ayahnya dengan lembut. “Baiklah ayah, aku tahu kalau mereka telah menyelamatkanku. Menyelamat-kan kita. Tapi bagaimana pun, aku tak akan terima kalau dia menjadi bagian dari keluarga ini.”
“Kau harus melakukannya, dan aku akan terus me-nganggapnya sebagai bagian dari keluarga ini, karena ka-luarganya juga mengganggapku begitu.”
Ruth hanya menghela nafas. Lalu dia terdiam. Se-mentara laki-laki tua itu pergi kekamarnya. Dia sebenarnya tak suka dengan kelakukan Ruth—putri sulungnya. Bagi-nya dia begitu tak sopan karena perlakuannya pada Marry yang begitu buruk. Gadis itu bahkan tak pernah tahu siapa keluarganya. Seandainya saja dia tahu bahwa ia adalah satu-satunya anggota keluarga Piudans yang masih hidup dimuka bumi ini, setelah pembantaian mengerikan yang berlangsung enam belas tahu yang lalu, saat Marry bayi ya-ng dibawa Ruth masih hidup dalam kengerian yang se-harusnya tak pernah terjadi. Pembalas dendaman semua orang yang merasa benci dengan keluarga itu hingga mem-babat habis seluruh keturunan mereka hingga keujung du-nia. Mereka tak pernah tahu bahwa masih ada seorang anak tak berdosa yang masih hidup dan merupakan ke-turunan terakhir keluarga Piudans yang melemah enam be-las tahun yang lalu. Untuk itu—Mader ingin anak itu hi-dup tanpa bayang-bayang buruk orang tua dan keluar-ganya yang lenyap. Ia hanya tahu bahwa semua keluar-ganya mati karena ikut perang. Dia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Keesokan harinya, Gina dan Miyuki begitu ber-gembira karena mereka mendapat surat pengumuman itu. Pengumuman masuk kesekolah terbesar di dunia—The Grizzlies School yang penuh dengan beribu-ribu anak berbakat yang akan memperebutkan kekuasaan didunia ini sebagai bagian dari Revenant (Sang penjagal Dunia—ke-lompok pimpinan dunia berkumpul). Gina menyodorkan surat berwarna perak yang cantik itu pada teman-teman-nya dan memajangnya diatas meja dengan bangga. “Aku akan berpetualang ketempat itu, dan aku akan dapatkan apa yang aku mau,” kata Gina memamerkan senyuman bahagianya pada beberapa anak yang bergerombol dan penasaran dengan surat (Konon legendaris—tidak semua orang punya, bahkan bisa dijual).
“Kita akan pergi ke Amerika setelah musim ini ber-akhir,” kata Miyuki terus menciumi surat itu dan me-ngelus-elus seluruh permukaannya seperti seekor kucing. Seorang gadis berambut biru yang berdiri tegak didekat pintu melirik kearah Gina dan Miyuki yang terlihat terlalu bahagia. Mereka bahkan tak sadar bahwa begitu banyak siswa di sekolah itu yang membenci mereka. Gadis itu terus memandang Gina dan Miyuki dengan seringainya. Lalu beranjak pergi dengan meninggalkan sepucuk surat didekat Gina dan Miyuki yang menempel bersama dengan pisau kecil dan balutan kain putih berisi darah. Gina dan Miyuki langsung kaget saat mendapati kain itu menancap di tembok dekat mereka. Miyuki memungutnya, membuka balutan kain darah itu, membaca isi surat yang ditulis di-atas kertas putih yang punggungnya sudah berwarna me-rah.

Jangan sombong karena kalian bisa masuk kesekolah itu,
Bisa jadi itu akhir dari perjalanan kalian…


Miyuki meremas-remas kertas itu dan membuang-nya kelantai. Dua gadis itu saling berpandangan. Menatapi semua anak yang ada ditempat itu dan melihat adakah pengirimnya diantara mereka? Lalu berjalan kesana-kemari dan melirik kearah pintu. Dan memandang curiga bekas seseorang bersandar didekat pintu. Gina mengamatinya, memasukkan sidik jari yang menempel dan membuka laptop mininya, mencari database sidik jari untuk menge-tahui siapa pemilik dari sidik jari itu atau lebih tepat sese-orang yang mengirim surat ancaman itu.

“Aku tak tahu ada yang begitu benci dengan kita,” ujar Gina tampak murung. Miyuki hanya tersenyum kecil. “Tentu saja, bahkan sangat banyak. Tak tahukah kau bah-wa hanya kitalah yang akan melanjutkan sekolah kita ke-tempat terkeren itu? Bahkan, dipenjuru negeri ini, hanya dipilih tiga orang. Entah siapa yang satunya lagi. Kemarin aku melihatnya di TV. Mereka sudah mencari-cari kandidat selanjutnya yang akan masuk kualifikasi sekolah itu. Ke-mampuan kita paling hebat disini, kita bisa berbagai ma-cam kemampuan untuk mengalahkan para pecundang ya-ng mungkin mengganggu kita. Kita bahkan sudah me-nguasai kemampuan terhebat yang hanya dimiliki para le-luhur Eldon dan para Eldor yang tinggal dibukit yang ber-tapa selama bertahun-tahun.”

“Kau benar, kita memang orang terpilih!” seru Gina sambil tersenyum. Lalu dia mengamati program database yang sedang melacak. “Ini adalah seseorang yang suka me-nggunakan busur dan panah,” ujar Gina mengamati per-kembangan database dan menemukan ciri-ciri pemiliknya.
“Bukan berarti dia yang mengirim surat itu, bu-kan?” kata Miyuki. “Mungkin saja mereka masih berke-liaran disekitar kita, atau hanya orang iseng yang ingin sekali merusak kebahagiaan kita. Aku akan membunuhnya kalau sampai menemukan orang itu,” dendam Miyuki.

“Sudahlah, jangan gegabah. Kau tak bisa asal bu-nuh orang begitu saja, bisa-bisa lisensi masuk kesekolah favoritmu akan hilang!” seru Gina menutup laptopnya dan mengedarkan pandangan kesekeliling. Miyuki hanya me-ngangguk. Lalu memandang Jack yang terus tertawa me-lihatnya. Miyuki mengacuhkannya. “Dia gila, ya?” Tanya-nya sambil berbisik. Gina yang tahu Jack memperhatikan Miyuki langsung tertawa. Cowok itu terlihat konyol. Ia se-ring sekali mondar-mandir kesana kemari seperti orang tolol yang menginginkan perhatian Gina. Sayang, gadis itu sangat cuek. Ia bahkan tak pernah memperhatian Jack yang bukan apa-apa. Bagi Gina yang kedudukannya mendekati seorang bangsawan terhormat yang tentunya ia mau. Ia tak mau ambil pusing dengan sosok rendahan yang mem-perhatikannya atau hanya sekadar mencuri pandang dari-nya. Ia sama sekali tak mengubrisnya, apalagi setelah tahu bahwa penggemar rahasianya hanyalah si Jack pecundang St. Micheal.

“Tentu saja, kau adalah gadis lumayan cantik di se-kolah ini,” katanya.
“Bagaimana dengan sepupumu, Marry. Aku tak bi-sa bayingkan anak itu akan ikut tes memanah besok, dia pasti langsung kalah di ronde pertama.”
“Dia memang terlahir payah, aku tak tahu mengapa kakek begitu menyukai pecundang seperti dia. Lebih-lebih dia selalu saja membelanya.”
“Mungkin balas budi!” seru Miyuki.
“Balas budi? Tidak! Keluargaku tak pernah punya urusan dengan keluarga miskin seperti keluarganya, aku yakin ia hanya merasa kasihan saja karena anak itu bekas buangan perang.”
“Kau yakin? Kupikir dia adalah gadis yang punya misteri besar.”
“Kau terlalu berlebihan, lagi pula anak itu berwajah biasa saja, dia bahkan tak pernah berdandan tampak kolot dan aneh!”
Miyuki tertawa terbahak-bahak, lalu Sire datang. Gadis itu membawa banyak buku tebal yang didekapnya. Dia tampak murung—tapi beberapa orang mengatakan kalau ia memang berwajah suram, menghampiri dua gadis itu dengan berjalan pelan. Dia adalah ketua kelas yang ko-lot, selalu di kepang dan dia doyan sekali membawa buku-buku tebal kemana-mana. Ia jarang bergaul dengan yang lain. Ia dipilih sebagai ketua kelas karena memang banyak guru-guru yang memuji bakat ilmiahnya yang diatas rata-rata. Apalagi ia adalah penggila sains. “Kepala sekolah me-manggil kalian,” katanya pada Miyuki dan Gina.
“Untuk apa?” Tanya Gina.
“Entahlah, mungkin karena ada kabar bagus buat kalian.”
“Aku tahu, dia pasti ingin membicarakan masalah keberangkatan kita ke The Grizzlies!” seru Miyuki berjalan meninggalkan Sire. Gina mengikutinya. “Menurutmu apa yang akan dikatakan si botak itu?” Tanyanya.
“Dia akan berterima kasih karena kita telah mem-buat sekolahnya jadi terkenal. Tak ada sekolah hebat yang mampu menampung dua anak untuk ikut serta disekolah itu.”
“Dan itu adalah kita!” seru mereka berbarengan.

Arena memanah—sekolah St. Micheal di daerah Mon Ami…

“Lepaskan anak panahnya dengan benar, jangan bi-arkan pikiranmu dihantui apapun sehingga kau tidak kosentrasi seperti itu!” seru gadis bernama Ernest Ketua asosiasi Pemanahan di St. Michel pada Marry Harrison—gadis berperawakan sedang yang tampak kusut dan pucat. Marry hanya menunduk dan merapatkan tanggannya me-megang busur lalu meluncurkan panah itu dengan benar supaya tidak meleset. Ia terlihat hati-hati sekali. Ini kali ke-tiganya ia melakukan kesalahan. Ernest terlihat pasrah melihat bakat gadis itu yang tampak payah bila dibanding pemula lainnya. “Usahamu nampaknya harus kau tambah jika kau ingin dirimu lulus di ujian besok,” komentar Ernest mengamati gerakan Marry yang hendak meluncur-kan anak panahnya pada sasaran. Ernest menepuk pundak Marry saat gadis itu sanggup mengenai sasarannya. Tapi jarak dengan pusat sasaran tampak jauh. Marry hanya mendengus dan melihat Ernest mengelengkan kepalanya.
“Bagus, lakukan terus!” serunya meninggalkan Marry yang masih terus belajar menyeimbangkan dirinya dengan bidiknya. Marry tahu dia memang payah. Bahkan kemungkinan ia akan naik level amatlah sulit. Ia benar-benar bodoh dibanding yang lainnya. Namun ia sudah ber-tekad bahwa ia pasti bisa. Ia terus-menerus berlatih mes-kipun ia tahu kemampuan masih di bawah rata-rata. Tracy mendekati Marry, memperhatikan Marry yang berusaha agar bidikannya tidak meleset meskipun itu hanya sesenti. “Kau harus latihan keras supaya kau bisa dimasukkan di regu A,” kata Tracy menaruh busur dan panahnya didekat tempat duduk yang tak jauh dari arena pemanahan.
“Sebenarnya aku tak sebegitu peduli,” guman Marry. Menghentikan permainan terakhirnya dan duduk sambil meneguk sebotol air minum dingin. Tracy meman-dang gadis itu tak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyanya.
“Aku memilih memanah hanya untuk hiburan saja, sementara kemampuan sesungguhnya, aku lebih mengan-dalkan Possum.”
“Possum? Benarkah! Apa kau mempunyainya?” Ta-nya Tracy tak percaya karena gadis itu tiba-tiba menga-takan hal yang tak biasa.
“Tentu, semua orang punya itu. Aku hanya merasa bahwa aku mampu. Selebihnya, aku tak sebegitu mahir banyak bidang. Kau pasti tahu kalau aku ini sangat payah dan lagi mereka selalu mengesampingkanku karena aku hanyalah anak tiri.”
“Kau salah, Possum adalah kekuatan yang sudah musnah belasan tahun yang lalu. Itu adalah kekuatan yang katanya sangat berbahaya. Saat kau katakan mampu, ku-pikir kau sedang bercanda. Lagipula, kekuatan itu hanya dimiliki kelompok hitam.”
“Tidak! Aku sendiri juga merasa aneh, tapi aku per-nah melakukannya beberapa kali. Dan aku pikir aku punya itu.”
“Beberapa kali?” Tanya Tracy tampak penasaran.
“Ya, aku pernah mengusir beberapa bandit dengan itu saat mereka mencoba menggangguku. Lalu beberapa kawanan hitam yang mencurigakan yang ada dibukit Eldon.”
“Kawanan hitam katamu?”
“Benar, beberapa orang berperawakan seram yang mau menuju kearah bukit. Mereka memakai jubah aneh se-perti penyihir dan memakai Carbunculus.”
“Carbunculus? Mobil halilintar itu?”
“Ya, dan mereka juga membawa mayat. Saat itu, aku kebetulan akan kebukit dan memberikan kakek be-berapa barang yang diperlukannya. Tapi sekelompok itu menghadangku. Mereka bahkan mau membunuhku. Un-tuk itu aku tersadar bahwa aku telah menggunakan Pos-sum itu beberapa kali.”
“Bolehkah aku tahu apa yang terjadi selanjutnya?” Tracy sudah penasaran. Dia bahkan terus melongo tak percaya pada ucapan Marry yang dipikirnya itu bukan hal biasa.
“Mati,” kata Marry datar.
Tracy langsung terlonjak, kemudian dia menatap sekelilingnya—mengamati sekitar, adakah orang yang mendengar pembicaraan mereka saat itu. Lalu kembali du-duk dengan nafas yang terlihat ngos-ngosan.
“Sebaiknya kau rahasiakan ini, jangan biarkan seo-rang pun mendengarnya, atau bisa jadi kau akan dibawa kekantor pemerintahan dan menjalani hukumanmu. Mere-ka pasti akan menuduhmu sebagai salah satu anggota The Clam. Kau juga perlu tahu bahwa orang-orang yang kau bunuh itu adalah agen kengerian yang bahkan terus dicari oleh kelompok Revenant. Mereka manusia yang tak pernah bisa mati.”
“Tapi aku yakin mereka mati saat itu,” jelas Marry.
“Tentu saja mereka akan mati, karena kau telah me-musnahkan roh mereka. Seandainya kau menggunakan pistol atau bahkan busur dan panahmu untuk membunuh mereka. Aku yakin selebihnya aku akan melihat mayatmu. Mereka kawanan yang bisa mati jika mereka ditaklukan oleh kekuatan seperti Possum.”
“Berarti…”
“Kau harus diam. Jangan pernah ada yang mende-ngar pembicaraan kita ini. Atau setidaknya tahu bahwa kau punya Possum dalam dirimu. Itu kekuatan yang sa-ngat mengerikan. Aku bahkan tak tahu bagaimana kau bisa mendapatkannya karena mungkin saja itu kekuatan yang sangat diincar kelompok hitam diseluruh dunia ini. Mereka mungkin bisa mengincarmu atau membutuhkan kekua-tanmu untuk menguasai dunia atau setidaknya menjadi-kanmu bala tentara mereka dalam peperangan.”
Marry terdiam. Tracy masih mengatur nafasnya. Melihat ketidakpercayaan sahabatnya yang ternyata punya kekuatan setan yang seharusnya sudah tak pernah ada lagi. Ia baru ingat kalau kekuatan itu hanya dimiliki satu ke-luarga. Sebuah keluarga mengerikan yang juga diincar se-luruh orang didunia ini. Mereka adalah sekumpulan Piu-dans. Keluarga pembunuh legendaris yang mampu mene-bas ribuan kepala manusia hanya dengan satu kejapan mata. Mereka bahkan sekumpulan orang yang seharusnya tak pernah diketahui wujudnya. Mereka lebih ganas dari para The Clam atau bahkan monster-monster yang ada di dunia ini. Mereka adalah kengerian bagi yang dibencinya. Tapi belasan tahun yang lalu kekuatan mereka atau bahkan keluarga itu mati dibantai oleh beberapa anggota Revenant yang menyatakan diri mereka sebagai The Brave. Entah siapa mereka. Tapi hari ini dia tahu, sahabatnya sendiri—Marry. Gadis yang bahkan sering menyendiri dan payah dalam memanah mampu menguasainya. Itu pertanda bu-ruk. Bisa jadi dia akan diincar banyak orang yang ingin memanfaatkan kekuatannya untuk kepentingan yang tidak benar.
“Kau seharusnya masuk ke The Grizzlies School jika kau punya kemampuan itu. Atau setidaknya kau dapat prediksinya sebagai anak yang terdeteksi berkemampuan lebih, dan mendapat surat perak.”
“Tidak, aku tak pernah menginginkannya. The Grizzlies School, sekali pun merupakan sekolah terkemuka di dunia ini, tapi penduduk disana terkenal tak kenal batas dunia. Mereka bahkan tak butuhkan itu kelompok apa, baik atau buruk menjadi satu dan mereka memperebutkan tempat tertinggi di dunia ini—yaitu menjadi salah satu Revenant dan berkuasa di dunia.”
“Kau benar, tapi setiap orang butuh itu—karena menjadi Revenant berarti kau punya pengikut besar dan kau bahkan mampu membuat Negaramu sendiri dengan ikut menjajah ke negara-negara kecil yang tak punya pe-nguasa yang kuat dan hebat. Kau mungkin bisa hidup ber-kecukupan karena hartamu bakal tak terkira,” kata Tracy melanjutkan. Dia bahkan selalu membayangkan mimpi itu. Mimpi tak terkira yang selalu dibayangkannya saat dia tengah bersantai dirumahnya dan saat dia melihat begitu mengenaskannya keadaan rumah itu, di tepi sungai kotor dan penuh dengan gubuk-gubuk kecil yang mungkin bakal tersapu air dengan mudah.
Kemudian seseorang laki-laki dari anggota Wintle datang, memakai jas rapi. Wajahnya serius dan dia datang berjalan santai menghampiri mereka dan memandang de-ngan seksama. “Ada apa?” Tanya Tracy dengan nada ting-gi balik memandang laki-laki itu yang terus menatapnya tak sopan. Dia bahkan terus menerawang masuk ke dalam bola mata bulat berwarna hazel itu.
“Apa diantara kalian ada yang bernama Marry Harrison?” tanyanya.
“Itu aku,” sahut Marry mengancungkan tanganya. Laki-laki itu tersenyum kecil. “Kau dipanggil kepala seko-lah,” ujarnya sambil memandang Tracy masam. Tracy membalasnya dengan memberikan ancang-ancang hanta-man dikepalan tangannya.
“Ada apa, ya?” Tanya Marry bingung. Dia sedikit cemas dan memandang Tracy.
“Mungkin kau dihukum karena sering bolos akhir-akhir ini, kau bahkan tak pernah latihan menembak.”
“Ah, tapi sampai begitukah, aku hanya bolos sela-ma tiga hari,” sangkalnya.
“Tentu saja itu cukup untuk si botak super cerewet memanggilmu. Semoga kau tak sampai ditempat sidang. Aku ingin kau melawannya sebelum dia memasukkanmu ketempat maut itu.”
Marry tertawa kecil. “Dia tak akan melakukannya lagi padaku!” serunya pasti. Tracy menyengir tahu apa saja yang selalu dilakukan temannya itu. Dia bahkan pernah mendekap lama di tempat hukuman itu. Bertemu siswa berbadan kekar dan mereka bahkan nyaris baku hantam hingga seorang memakai pakaian abu-abu dengan topinya yang aneh—mirip pelayan restoran melototi mereka dan memisahkan dua orang yang mungkin akan saling bunuh. Marry meninggalkan Tracy dan pergi melewati koridor-koridor yang menghubungkan tempat itu dengan ruang kepala sekolah yang ada diujung koridor. Dia agak gemetar kali ini. Kepala sekolah ditempat itu terkesan tak ramah, bahkan sangat aneh. Dia laki-laki pendek yang berkumis sangat tebal dengan gigi palsunya yang terlihat aneh dan mengkilap. Selain itu, dia memang sering mondar-mandir tak jelas seperti memikirkan sesuatu yang begitu rumit—padahal dia sangat kaya raya. Ia juga suka mengoleksi foto-foto mengerikan yang dipajangnya disetiap dinding diru-ang kerjanya. Dia tak suka berbasa-basi. Nada bicaranya cepat dan benci bila dirinya disela saat mengobrol—atau lebih tepat ia paling suka dengan murid yang suka menga-takan “Ya, sir!” itu lebih aman. Atau dia akan menga-nggapmu membangkang, memasukkanmu keruang huku-man dan ikut sidang untuk menentukan apakah kau ter-maafkan atau tidak. Sudah banyak yang mencobanya, dan hasilnya adalah mengerikan. Apalagi monster berkepala botak itu ikut andil didalamnya. Dia bakal terus men-ceramaimu tentang banyak hal dan mengatakan begitu tak bergunanya dirimu didunia ini jika kau selalu menyela orang-orang terhormat. Ia menganggap hal itu penting, padahal kami selalu menertawainya saat dia berjalan mondar-mandir di sekitar kelas kami. Kami menyebut-nya—badut. Marry membuka pintu yang agak retak dan melihat kedalamnya. Mr. Richert sedang mengobrol de-ngan dua orang gadis yang menghadap persis di depan Mr. Richert tampak hikmat ketika manusia botak itu mengatakan sesuatu pada mereka dengan nada-nada khasnya dan suaranya yang cukup melengking. Dia mung-kin saja berlatih vokal untuk itu. Marry tak dapat melihat muka mereka karena dipunggungi. Lalu dia sadar bahwa dua orang itu adalah Gina dan Miyuki. Kedua gadis itu menatap Marry dengan seringainya—sama setiap kali mereka beradu pandang. Kadang Gina begitu malas mena-tapnya, merasa jijik jika gadis itu mendekatinya atau ber-jalan di sekitarnya. Ia bahkan selalu menekankan pada semua siswa di sekolah itu—kalau DIA adalah anak pu-ngut. Anak buangan yang mungkin adalah sekumpulan orang-orang yang tak bermasa depan dan harus hidup dengan cara menyedihkan jika bibi dan kakeknya tak mengadopsinya dari tempat pembuangan itu. Miyuki memperhatikan Mode pakaian Marry yang terkesan keti-nggalan jaman sepuluh tahun untuk jaket kulitnya yang aneh.
“Ah, kau pasti Marry Harrison!” seru kepala seko-lah menjabat tangan gadis itu dan tersenyum. Terlihat gigi-gigi Mr. Richert yang berwarna sangat kuning dan aneh. Dia selalu menduga Mr. Richert akan pamer gigi-giginya padanya juga pada setiap siswa. Gigi itu di belinya sangat mahal dari seorang dokter paling terkenal di dunia. Dia ter-masuk salah seorang yang mendadak kaya karena perang dasyat itu—dan dia bersyukur mendapat harta dengan cuma-cuma seperti itu. Padahal sesungguhnya dia begitu payah jika harus bertarung, tapi dia membuat rumor-rumor wah tentang kemampuannya. Ada yang sadar kalau yang diucapkannya itu omong-kosong. Tapi karena dia salah seorang bangsawan cukup terkenal di Mon Ami, mereka bungkam mulut dari pada dicebloskan di penjara gara-gara menghina Richert—orang paling kaya nomer lima di Mon Ami setelah keluarga Miyuki Sakura, sahabat Gina yang super sombong.
“Duduklah,” katanya mempersilahkan Marry untuk duduk di kursi sebelah Gina. Kursi empuk dengan desain spesial—bahkan diimport dari negara Prancis langsung sebagai bukti dia bisa dapatkan apapun yang dia mau. Ter-masuk membeli pulau buatan di daerah Atlantik—dia me-mang sangat kaya. Karena itu, orang takut karena dia se-lalu menggunakan hartanya untuk menyuap orang atau membuang seseorang begitu saja. Dia bisa lakukan itu, bahkan membeli sekolah St. Micheal—yang paling terkenal di Mon Ami. Gina dan Miyuki menyengir. Lalu mereka berkomat-kamit membicarakan sesuatu yang tak jelas. Marry duduk dengan anggun menyingkap baju atasannya yang panjang dan duduk dengan manis. Mereka selalu diajarkan bagaimana duduk di depan bangsawan dunia, termasuk Mr. Richert—atau jika tidak kau akan mendapat pengurangan nilai untuk mata pelajaran kesopanan.
“Apa kau tahu kenapa aku memanggilmu, Miss Harrison?”
“Tidak, Sir!” jawab Marry kalem. Tersenyum lem-but dan menatap dingin Gina yang meliriknya tajam.
“Oke, pertama-tama, aku memanggilmu karena se-hubungan dengan sekolah paling ternama didunia ini. Kau pasti pernah mendengar The Grizzlies School, bukan? Aku bahkan tak pernah bersekolah ketempat itu atau meng-habiskan musim panasku ditempat terindah diseluruh pen-juru dunia itu. Kalian pasti pernah dengar kehebatan se-kolah itu. Bahkan, mereka punya suite yang nyaman dan menenangkan. Mereka juga punya asrama pribadi bagi mereka yang—ber-uang. Aku tahu, kalian pasti pernah melihat kamar Van Hamel yang begitu besar dan mem-pesona, salah satu pemuda terkaya disana. Yang diper-lihatkan secara eksklusif di TV oleh stasiun BBC Inter-national. Dia bahkan punya asrama yang seperti rumah mewah yang dipindahkan ke pulau itu. Hal itu membuat orang-orang di dunia ini bertanya-tanya berapa juta ia menghabiskan uang hanya untuk membuat sebuah rumah yang paling menarik di tempat itu. Semuanya diperboleh-kan ditempat itu, sekali pun itu adalah hal terkeji didunia ini yaitu—membunuh. Aku tak akan lebih mengatakan itu karena kalian tahu sendiri dunia ini penuh dengan ber-bagai macam pembunuh. Mereka bahkan punya angkatan bersenjata khusus untuk menjaga mereka di setiap per-jalanan, supaya aman dan tentram seperti layaknya Presi-den padahal mereka hanyalah seorang Duke. Aku harap setelah ketempat itu kalian tak pernah melakukannya, ka-rena itu berarti buruk!”
“Saya tak mengerti maksud Tuan, kesana?” Tanya Marry Harrison menyela pembicaraan Mr. Richert yang sebenarnya ia tak mau melakukannya.
Mr. Richert menyerngit menatap Marry ketika gadis itu mengatakan sesuatu yang jauh dari apa yang dia harapkan. Itu bahkan melanggar norma-norma yang dijunjung tinggi dirinya. Mengerutkan alisnya, lalu dia tersenyum mencoba melupakan yang barusan dilakukan Marry Harrison se-bagai ketidaktahuan yang mendesak. “Miss, Harrison!” serunya. “Apa kau tak tahu bahwa kau adalah salah satu kandidat yang akan dikirim kesekolah itu bersama Gina dan Miyuki?”
“Maksud Tuan, The Grizzlies School?” Tanya Marry tak percaya.
“Tentu, kalian bertiga adalah utusan dari Negara Mon Ami yang kecil ini.”
Marry langsung terkejut, ia melihat Mr. Richert ter-senyum padanya, menjabat tangan gadis itu dan terus memperlihatkan gigi-giginya yang cemerlang dan aneh. Sementara Gina dan Miyuki terus mencibir, menatap gadis disampingnya dengan perasaan yang muak, merasa bahwa gadis itu terlalu tak layak untuk berada di The Grizzlies sekolah yang bahkan membutuhkan uang jutaan Dollar untuk masuk kesana tanpa instruksi dari pihak sekolah, atau mendaftar secara perorangan.
“Saya masih tak percaya pada hal ini, benarkah saya…” kata-katanya terputus. Dia menarik nafas singkat, tersenyum dan melanjutkannya, “masuk ke The Grizzlies—sekolah terkeren didunia?” Dia takjub dan tak henti-henti-nya memperlihatkan binaran matanya yang berkilat-kilat senang.
“Tentu, kau memang terpilih, dan ini adalah surat-nya.” Mr. Richert memberi sepucuk surat perak terkenal yang diperlihatkan Gina beberapa waktu lalu karena alasan pamer pada pembantunya yang mungkin tahu bahwa dia sangat terhormat di dunia ini. Surat itu terlihat sangat ber-kilau terang memperlihatkan keistimewaannya, keelega-nannya sebagai yang terhormat. Dia tak sanggup menatap surat itu. Ia merasa dirinya sangat syok mendengar bahwa dia adalah kandidat ketiga yang akan dikirim ke The Grizzlies School dan menghabiskan sisa sekolahnya ditem-pat itu. Sementara ia merasa kemampuannya sangat ku-rang. Ia bahkan tak mampu membidik panahnya dengan benar, tidak meleset. Tapi bagaimana mungkin ia bisa terpilih? Mungkinkah orang-orang yang menyeleksi tahu bahwa dia bisa menggunakan Possum? Tapi itu tak mung-kin sebab tak ada yang tahu bahwa ia mampu melakukan itu. Tak ada seorang pun kecuali mereka yang pernah dibu-nuhnya dengan kekuatannya itu. Bahkan segerombolan The Clam itu mati sebelum mengatakan kalau ada seorang gadis yang bisa melakukan sihir maut yang musnah sejak lama pada ketua mereka. Ia heran. Tapi dia merasa sangat senang. Gina melirik Marry dengan tatapan bencinya. Merasa tak pantas gadis seperti Marry yang kolot dengan pakaian tomboinya bisa masuk ketempat yang sangat ter-hormat penuh dengan orang-orang terkenal dari penjuru dunia ini. Bahkan itu berarti kemungkinan Marry untuk menjadi salah satu Revenant bisa terbuka, sekali pun dia tak yakin gadis itu bisa mampu menembus ujiannya yang mengerikan.
“Baiklah,” kata Mr. Richert akhirnya. “Aku senang kalian mewakili sekolah ini. Belajarlah dengan tekun disa-na. Aku sudah menyampaikan surat persetujuanku ke Dewan penerima siswa baru The Grizzlies untuk mengecek apakah kalian benar-benar masuk kesekolah itu atau tidak. Tapi beberapa waktu yang lalu aku menerima telepon ka-lau kalian memang terdaftar menjadi siswa yang terpilih. Kuucapkan selamat pada kalian!” serunya menjabat tangan kami satu persatu. Marry melihat tangan Mr. Richert tam-pak berkeringat dan cepat-cepat melepasnya. Dia mema-merkan gigi-giginya yang aneh lagi dan kembali duduk dikursinya.
Kemudian ketiga orang itu keluar dari ruang kepala sekolah Richert. Gina masih menatap Marry dengan seri-ngainya yang buruk. Sementara Miyuki hanya menyengir. Mereka tak henti-hentinya mencemooh Marry, mengatakan begitu tidak pantasnya anak itu karena mereka menga-nggap kalau Marry sangat tak pantas berada di sekolah yang berkelas. Dia bahkan tak bisa masuk ke anggota A—sebagai pemanah handal. Mereka merasa anak itu sangat bodoh. Atau lebih tepat pecundang. Bagaimana mungkin orang macam dia bisa lolos seleksi ketatnya yang dilaku-kan oleh orang-orang handal? Mungkinkah ada kesalahan saat mereka memasukkan datanya? Itu bisa jadi. Tapi Gina Parker yakin bibinya tak akan menyetujui kebe-rangkatan-nya kesekolah itu atau itu berarti mereka akan rugi besar membayar biaya sekolah Marry yang sangat mahal.
“Kau tak berhak mengatakan itu kalau Dewan pe-nyeleksi sudah memutuskan itu padaku,” bentak Marry tak terima karena Gina terus mengoloknya.
“Mungkin mereka mengantuk, mereka tak sadar telah menerima orang tolol sepertimu,” balas Gina sambil menyengir.
Marry tak menghiraukannya, dia cepat-cepat me-motong jalan agar tidak terus-menerus bersama monster yang terus mengatainya hal-hal buruk itu. Gina adalah sepupu tirinya, dia hanya menumpang dikeluarga itu, dimana hanya kakek tua yang baik hati itulah yang terus menyayanginya dan merawatnya hingga ia sudah dewasa kini.


lembaran Marry Harrison sehari sebelum berperang……

Bolehkah aku meminta sesuatu padaMu Tuhan?
Sebelum aku menjadi tiada…
Sebelum aku menjadi kala diantara baris kata yang akan terhapus dunia?
Ijinkan aku bermimpi, merenguh harapan yang kuukir dengan darahku setiap waktu.
Menjelang ketiadaanku, menjelang hari akhirku atau menjelang hari patriotku pada bangsaku yang terhempas kehampaan dan keserakahan manusia
Bolehkah aku menemukan citacitaku?
Bolehkan bertamu ke masa depanku
Yang meski kemudian akan hilang atau mungkin hanya akan mampu ku kenang?
Aku menginginkan asa karena itu alasan aku hari ini ada
Aku menginginkan itu nafas kemerdekaan karena itu harta benda yang ku punya dari sekumpulan manusia yang teraniaya…
Tuhan kau ada
Maka asaku akan tetap ada
Walaupun aku pergi
Walau kemudian ku lenyap bagai pasirmu yang tak berdaya…

Aku seorang MARRY HARRISON
Yang tak akan mati walau ratusan peluru menembus dadaku
Karena I AM NOT ALONE
AKU BERSAMAMU TUHAN, KAU DAN ASAKU ADALAH NYAWAKU..

0 komentar:

Posting Komentar

free counters