Selasa, 11 Mei 2010

Diary tertinggal yang membisu..



Jika jantung saya berhenti, ijinkan saya melangkah disisa-sisa patahan derap kaki saya, tak ada lelah dalam jantung tak ada lelah dalam darah. Asa saya telah memburat menjadi daging dan akan terus menapakinya, hingga kemudian saya tahu didepan saya hanyalah kematian..




Bab 2- Tears - Original Story "Canaletto Book" by Lord Memoire

Malam itu, Marry tak bisa tidur. Ia belum mengata-kan apa-apa soal berita kepergiannya ke The Grizzlies School pada bibi maupun kakeknya. Ia tak tahu apa pen-dapat mereka tentang soal itu. Ia yakin jika bibinya tahu, ia pasti akan menjerit keras—saat tahu bahwa dirinya akan bersekolah di sekolah paling ternama di dunia. Dimana ia akan berlomba dengan ribuan orang di penjuru bumi untuk memperebutkan kekuasan di Jaringan Revenant. Sebagai orang yang mengabdi pada dunia, yang tak akan tertindas, atau setidaknya mencoba merubah derajatnya menjadi seorang bangsawan dan mampu hidup enak. Tak perlu berperang saat keadaan benar-benar genting, yang hanya mampu menonton atau sekedar memberikan umpeti bagi mereka yang telah berjasa bagi negara. Sementara diri-nya yang hanya seorang rakyat jelata harus ikut ber-bondong-bondong mengantri mengambil senjata. Menem-baki para pembelot dan orang-orang yang mencoba men-jajah negaranya dengan sadis. Ia tak akan pernah diupah, namun sebagai gantinya nyawa mereka dipertaruhkan. Nyawa mereka hanyalah segelintir debu yang akan tersapu dan di buang begitu saja bagai tak bermakna. Nyawa ha-nyalah seutas tali diantara ribuan benang yang melilit ke-hidupan. Entah apakah pantas menyebut nyawa sebagai kehidupan lagi. Semuanya nampak semu dan tak terlihat. Bahkan untuk merubah kehidupan seperti mengorbankan nyawa untuk bertanya-tanya mengapa hidup sekejam itu. Dan diantara tangis manusia yang menjerit di tengah hari. Ia yang bagian dari mereka yang tak berkuasa hanya mampu berdoa. Memegang erat tangan dan bersujud agar hari esok ada. Mereka hanya angin yang seolah tak berarti bagi kehidupan orang-orang dingin.

Marry menatap diarynya—sahabatnya. Buku itu su-dah berlumur debu karena tak dijamahnya beberapa wak-tu. Ia terlalu sibuk tidur dihutan dan berlari kesana-kemari mencari makanan demi bibinya. Hingga ia lupa bahwa ia harus menuliskan sesuatu yang berguna di dalam buku tua itu. Buku dimana ia sangat yakin bahwa itu adalah berkas-berkas yang akan menjadikan ia memang benar-benar ada di muka bumi ini. Pernah bernafas, bahkan pernah ada jika suatu hari ia memang akan pergi seperti yang lain. Seperti ibunya, seperti tentangganya yang terus menjerit tiada henti saat sosok penyokong hidup mereka harus terkapar di tengah kota tanpa nyawa. Saat peluru nyasar menjadi bagian dari akhir cerita dunia mereka. Kini ia meraih penanya menuliskan sesuatu yang terjadi hari ini dike-hidupannya.



Tak ada yang menarik hari ini kecuali teriakan bibi-nya lagi. Saat ia membangkang telah menyebut tetangga mereka yang seorang bangsawan terhormat dengan sebu-tan “Tolol” tentu saja ia harus di hujam dengan makian, atau bahkan kata-kata yang jauh lebih buruk dari apa yang ia katakan pada bangsawan itu karena ia hanyalah seorang biasa yang bukan berkedudukan. Ia pantas bersujud dan memohon ampun untuk apa yang ia lakukan meski itu hanyalah melirik bangsawan dengan tak sopan. Derajatnya tak akan mampu membayar apa yang ia lakukan meski itu hanya menyapa atau menatap seseorang dengan tak sopan. Derajatnya hanya mampu tertunduk, tak berkomentar dan turuti mereka yang berpangkat kaya agar tak murka. Dera-jatnya bahkan tak akan pernah bisa lebih dan setara dengan seorang buruh maupun budak. Dan larangan terbesar da-lam buku hukum para orang miskin adalah satu yaitu di-larang menghina seorang bangsawan, tak terkecuali bang-sawan rendahan.

Ia menitihkan air matanya lagi. Menatap langit biru yang terlihat sendu, meletakkan penanya di atas buku yang basah, lalu melamun memikirkan banyak hal yang terjadi. Seandainya saja ia memang akan pergi ke sekolah ternama itu, apakah hidupnya akan benar-benar berubah? Apakah makian akan sedikit berkurang dalam hidupnya? Apakah ia akan merasa tak penat lagi? Dan apakah ia akan temuk- an apa yang selama ini ia cari? Marry hanya menunduk, menatap langit yang masih terus bisu. Kemudian ia me-natap kasurnya yang sudah lapuk dan berdebu. Ia harus tidur, pikirnya dalam hati. Hari ini ia lelah sekali setelah berlarian kesana-kemari mencari kakeknya yang ada di kota. Ia harus mencarinya karena bibinya yang menyuruh-nya.

Meskipun zaman telah berubah, teknologi nyaris di ambang batas kewajaran. Namun hati, keserakahan dan kemiskinan budaya telah merajalela. Bahkan nilai-nilai ke-manusiaan seolah sudah tak pernah ada lagi. Yang ada ha-nyalah pembantaian, tangisan dan harapan yang selalu hidup tengah malam menemani mereka—orang-orang ya-ng telah ditelantarkan dunia….

Keesokan Harinya…………

“Apa! Marry adalah salah satu kendidat yang ter-pilih!” Ruth berteriak nyaris melongo membaca surat perak yang digenggamnya, disana jelas-jelas tertera nama Marry Harrison keluarga Elder tertua di Eldon, Mon Ami—Negara yang masih berkecambuk, dijadikan perebutan oleh Blok-blok dunia. Ruth gemetar, kemudian menatap gadis lugu yang hanya terdiam tak berkomentar dan me-nyela, dia hanya memandangi sofa depan dengan pikiran-pikiran yang menjanggal diseluruh otaknya. Ruth me-lototinya, kemudian dia beralih kesurat itu. Memandang dengan detail apakah itu asli atau ada seseorang yang me-rekayasanya. Kemudian menatap Gina lembut.

“Kau bisa jelaskan tentang ini, Gina?” Tanya Ruth ekspresinya melembut. Dia mendekati gadis itu yang du-duk disofa paling ujung sambil menggosok-gosong kuku-nya yang bersih. “Tentu saja kemarin aku langsung, syok. Orang seperti dia yang masih baru naik pangkat level—B di Arena memanah bisa terpilih. Tapi itu keputusan Dewan, bahkan Mr. Richert mengakuinya—dia menyala-minya.”

“Mungkin ada kesalahpahaman. Tak mungkin Marry terpilih dalam seleksi ketat yang diadakan Dewan, ini sangat ngaco,”
“Apa Bibi akan memprotes ke The Grizzlies School?” Tanya Gina masih terus menggosok kukunya dan melihat begitu cantiknya dia dengan kuku secemerlang itu. Lalu beralih kebibinya yang terus menggigit jari dan tam-pak strees.
“Tidak! Kita bukan Revenant yang bisa mengajukan hal semacam itu. Itu bisa jadi bahan olokan yang me-nyakitkan. Tapi masalahnya dia benar-benar terpilih,” kata Ruth akhirnya mengakuinya. “Jika dia harus terbang ke The Grizzlies School, siapa yang akan memberi dia uang dan pembiayaan sekolahnya yang begitu mahal?”
“Aku!” seru laki-laki tua yang terbangun dari tidur-nya ketika mendengarkan suara lolongan Ruth—yang seo-lah terjadi kebakaran. Tampangnya pucat bibirnya agak hitam. Dia duduk disofa memandangi Ruth yang tampak terkejut melihat kedatangan laki-laki tua itu.
“Ayah,” desis Ruth.
“Aku yang akan membiayainya. Dia memang pan-tas beradu diri disana. Aku yakin itu sangat baik.”
“Tapi ayah, biayanya sangat besar. Kita tidak bisa membayar dobel untuk dua orang sekaligus ditempat yang bahkan menelan biaya jutaan dollar.”
“Aku tahu, tapi jangan cemas, aku punya tabungan cukup untuk sekolahnya. Dan kurasa itu cukup sampai dia lulus nanti. Tak perlu berfoya-foya dengan banyak harta, itu akan menjadikanmu dan Gina jadi serakah!”
“Kenapa kakek begitu menyayanginya?” sela Gina, wajahnya cemberut. Dia berhenti menggosok kelingking-nya dan memandang geram laki-laki tua itu yang hanya menatapnya sesaat saja. Dia sangat marah karena kakeknya terus membela gadis yang kini hanya terdiam saja. “Dia bahkan bukan benar-benar anggota keluarga kita,” lanjut-nya.
“Dia anggota keluarga kita!” bantah laki-laki tua itu dengan suara meninggi.
“Kakek, tak bisahkah kakek hanya perhatikan aku saja, aku adalah cucumu.”
“Kau memang cucuku, tapi sikapmu sangat memu-akkan, Gina!”
Gina cemberut. Dia mengerutkan alis pada Marry. Marry menatap laki-laki tua itu dengan lembut. Meman-dang begitu baiknya dia yang terus menjaganya. Dia terus membelanya dari ejekan bibi dan sepupunya yang kejam.
“Ayah, mungkin Gina benar. Dia adalah bagian sah dari keluarga ini, jutaan dollar tak mengapa asal dia ba-hagia ditempat itu. Dia bisa jadi Revenant.”
“Kau memang penghianat, Ruth!” seru laki-laki tua itu setengah menyerngit menatap anaknya yang paling su-lung. “Kau bahkan nyaris menelantarkannya, padahal kau ingat apa yang diwasiatkan mendiang ibunya dulu—kau mendengarnya,” desis laki-laki tua itu wajahnya sudah me-rah karena kebakaran jenggot.
“Ayah!” seru ruth, wajahnya pucat. “Kita tidak bi-sa..”
“Bibi benar, mungkin sebaiknya aku tak pergi ke-sekolah itu, butuh biaya yang mahal untuk keseharianku disana,” kata Marry akhirnya bicara.
“Tidak! Kau harus pergi ketempat itu, mereka me-milihmu dan itu berarti kau punya kesempatan,” sergah laki-laki tua itu. Memandang Marry yang kusut. Gadis itu terlihat jarang makan, tubuhnya juga sangat kurus. Dia be-nar-benar tak terawat. Marry hanya terdiam. Dia sendiri sangat bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Dia tak tahu, sungguhkah itu adalah kesempatannya sementara biaya yang menumpuk akan menyusahkannya bila men-jalani kehidupan ditempat itu?
“Baiklah,” kata Ruth akhirnya. Ia terlihat pasrah. “Aku tahu aku paling benci mengatakan ini, tapi kau boleh pergi ke The Grizzlies,” lanjutnya.
Gina melongo, ia langsung terlonjak berdiri. Wajah-nya menatap tak percaya pada bibinya. Bibi yang selalu membenci bocah ingusan itu, kenapa sekarang bisa luluh? Apakah dendamnya kini sudah luntur? Dan apakah ini artinya akhir bagi dirinya? “Bibi, tahukah bibi apa yang baru saja bibi katakan, Marry…”
“Dia akan kesana bersamamu!” serunya tanpa eks-presi.
“Tapi aku sangat membencinya, bagaimana dengan biayanya?”
“Dia sudah punya tabungan, jangan pedulikan itu. Dan aku harap kau dan dia tidak mengecewakan kita nan-ti.” Ruth duduk disofanya, menarik nafas singkat dan ter-tunduk lesu. Sementara laki-laki tua itu tersenyum pada Marry yang kini nyaris mengeluarkan air matanya. “Kau akan pergi,” gumannya sambil memeluk gadis itu.
“Kakek,” kata Marry air matanya berlinang. “Aku tahu kakek akan selalu baik padaku. Engkau memang sese-orang yang begitu mulia. Bagaimana mungkin mereka tak tahu bahwa engkau sungguh bijaksana,” kata Marry lagi. “Dunia memang membiarkan kita ada. Hari ini, hari esok tak akan pernah kulupa bahwa aku akan selalu punya kau dalam hatiku,” lanjut Marry. Dia tak bisa menahan kebaha-giaan yang kini ada didepannya. Dia akan pergi ke tempat itu, maka dia akan berusaha keras merubah masa depan-nya agar jadi lebih baik. Dia tahu dia punya kesempatan itu.
Gina hanya mencibir. Dia tak dapat bayangkan bagaimana jadinya jika harus pergi bersama dengan gadis yang sangat dibencinya itu. Dia sangat membencinya—sangat hingga rasanya dia ingin sekali membunuhnya.
“Aku tak mau berangkat bersama dengan Marry, mungkin dia bisa mencari jalan alternatif lain untuk pergi kesana!” seru Gina menyela kebahagiaan yang kini hadir ditempat itu. Laki-laki tua itu melepas Marry dan menatap Gina yang sepertinya akan menentang pendapat kakeknya. “Terserah!” serunya. Gina mencibir, dia langsung mening-galkan ruang tengah dengan kesal.

Marry hanya menatap sendu gadis itu yang berlalu begitu saja. Gina memang begitu membencinya. Entah ka-rena apa ia selalu tak pernah di gubris oleh saudara tirinya itu. Ia bahkan terus-menerus mendapat ejekan sejak per-tama ia mengenalnya. Dulu, ia memang pernah berteman sebentar dengan gadis itu. Saat pertama kali keluarga Parker datang dan memberikan Gina yang berumur lima untuk dititipkan pada kakek dan bibi Ruth. Kedua orang tuanya harus ikut berperang, dan saat itu Gina sama sekali tak tahu kalau itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan ayah dan ibunya. Ia benar-benar syok, dan bibi Ruth begitu bingung harus bagaimana dengan gadis yang setiap hari terus-menjerit histeris itu. Kemudian ia diabaikan, karena ia memang tak pernah punya hubungan darah dengan ke-luarga Mader. Saat itulah, bencana demi bencana hinggap pada dirinya. Namun entah mengapa ia kini sudah jarang menangis entah apakah karena ia begitu sering menangis, ataukah karena ia memang sudah mulai tabah dengan kea-daan hidupnya.

---

Marry mengamati lembaran dari The Grizzlies Sc-hool. Surat-surat resmi penerimaan atas dirinya. Ia me-nonton ke stasion TV—dan melihat begitu banyaknya pen-daftar yang ditolak, serta seleksi yang begitu ketat dari De-wan. Setiap siswa yang terdaftar diumumkan melalui be-rita-berita di TV internasional. Ada yang menangis karena terharu, tapi ada juga yang menjerit dan frustasi. Tak ada kesempatan kedua untuk bisa masuk ke sekolah Revenant itu. Mereka yang lolos seleksi adalah sebagian dari mil-yaran orang di dunia yang terdaftar memiliki bakat luar biasa. Entah bagaimana ia bisa lolos dalam seleksinya. Ia sendiri tak tahu. Ia bahkan tak memiliki bakat yang luar biasa. Ia hanyalah gadis tolol yang selalu payah dalam me-manah, dan terus mencoba meskipun ia pernah tinggal kelas karena tak pernah lulus ujian hingga kelima kalinya kemudian ia mampu lulus. Hidupnya seperti tangga, yang harus merangkak perlahan agar impiannya terkabul. Ia bu-kan seseorang yang di penuhi dengan keberuntungan. Ia hanyalah seorang yang mencoba teguh, saat ia sadar bah-wa takdirnya memang berbeda dengan yang lain.

Setiap orang yang bisa masuk ke The Grizzlies Sc-hool adalah anak yang berumur antara enam belas sampai tujuh belas tahun. Lebih atau kurang dari itu maka akan di diskualifikasi, atau jika tak memenuhi syarat mereka akan di tendang dari tempat paling terhormat di dunia itu. Ia sebenarnya tak tahu, mengapa ada sekolah yang begitu aneh seperti itu di dunia ini. Sebuah sekolah pembuktian. Sekolah dimana mereka yang ingin dirinya kaya harus rela mengantri seumur hidup untuk masuk dalam sekolah yang mungkin saja mampu merengut nyawa mereka dalam se-kejap. Dunia kini terlihat begitu rumit. Dulu, ada banyak hal yang menarik yang pernah ada di dunia ini, yaitu se-belum bencana demi bencana seolah kiamat telah datang. Kemudian badai solar terdasyat telah menghancurkan ba-nyak bangunan di muka bumi ini. Tidak hanya itu, jutaan bahkan milyaran orang mati karenanya. Namun kini, se-mua itu seolah musnah. Orang miskin mendadak kaya, dan orang kaya mendadak miskin. Dunia serasa berbalik. Ke-mudian pemimpin-pemimpin dunia banyak yang meng-hilang. Ada yang mati dan ada juga yang panik. Lalu, mun-cullah orang-orang yang menamakan diri mereka Revenant. Orang-orang yang kemudian mengambil alih dunia ini. Mereka sekumpulan orang-orang yang berkuasa. Dan yang mengerikan lagi, dunia kini diselimuti oleh kasta, dimana penindasan mulai timbul dan tangisan orang-orang tak berdaya bermuncullan. Kedamaian yang pernah tertonton ribuan tahun yang lalu hilang, lenyap. Semboyan-sembo-yan negara yang diagungkan hilang, bagai tak pernah ada. Entah bagaimana kehidupan yang lampau itu. Rasanya ingin melihatnya walau sekali, apa tak ada kemelut?

Marry menaruh kertas berwarna kemerahan itu di dekat Diarynya, ia menengok buku tua itu, tersenyum dan meraihnya. Lalu melihat untaian kata terakhir yang tertulis didalamnya.

Aku memang sendirian, namun tak akan kubiarkan kesendirianku menghancurkan mimpiku
Aku akan hidup!
Aku akan mencoba untuk terus hidup! Tak bisahkah Tuhan mengabulkan impian
orang bodoh ini,
Untuk bermimpi dan mewujudkan sesuatu yang menjanggal di hati..
Untuk keheningan, yang memang akan selalu ada sebagai sahabat dan sebagai tanda
Aku pernah bernafas di tahun ini…


Ia tersenyum, menutup buku itu dan meletakkan-nya di atas meja. Kemudian ia mendongak kebawah men-dengar seseorang yang berteriak begitu kencang dari lantai satu. Gina terlihat pucat hari ini. Ia tak pernah terlihat tan-pa mengenakan baju peraknya yang selalu dibangga-kannya dari para tamu orang-orang bangsawan itu. Dua pemuda itu tersenyum padanya, dan dengan ramah Gina menyambutnya bak pangeran yang mampir di gubuk reot. Kemudian Gina melirik Marry, melototinya. “Kau harus siapkan makanan lezat untuk para tamu,” desisnya, se-ranya tersenyum dan berbicara begitu pelan dan sopan pa-da pemuda yang menunggunya untuk berbarengan masuk. Marry hanya mendengus kesal. Ia menarik nafas sing-katnya dan membereskan kasurnya yang berantakan. Tem-pat sempit itu tampak begitu kumal. Banyak perabotan ya-ng tak terpakai yang tergeletak di sana-sini. Seperti gu-dang! Ia memang tidur disana, melamun, membayangkan kehidupan yang luar biasa yang sesungguhnya begitu menyesakkan hatinya. Ia hanya orang kecil, itulah yang selalu terlintas di akhir khayalannya. Dan ia harus sadar diri atau jika tidak ia hanyalah orang gila yang malang.

Marry menuruni tangga kecil yang menuju ke lantai dua. Wajahnya sudah tampak mendingan dari tadi. Ia benar-benar kusut dan ia sama sekali tak peduli dengan penampilannya—membuat ia benar-benar terlihat seperti orang yang selalu kelaparan. Lalu ia melihat Gina datang menghampirinya. Wajahnya sudah merah padam. Ia bah-kan menyerngit sesenti dari alisnya, dan berteriak begitu lantang padanya. “Kau sudah merasa seperti bos, rupaya. Jika bibi datang akan aku adukan perbuatanmu ini pada-nya. Mungkin ia akan berpikir seribu kali lipat untuk mengijikanmu masuk ke sekolah ternama itu. Di bawah ada dua Duke, sebaiknya kau harus segera ke kota. Toko-toko di sekitar sudah banyak yang tutup karena teroris me-nembaki mereka. Mereka mendadak bangkrut karena pera-botannya sering di rusak para bandit itu, sehingga mereka terpaksa berjualan di Mall yang di jaga ketat oleh banyak polisi pemerintahan. Aku ingin kau membelikan banyak pai yang enak, jangan lupa lasagna, karena dua Duke ingin merasakan makanan itu. Mereka sudah lapar. Dan jangan lupa untuk cepat kembali, atau aku akan mengadukanmu pada bibi tentang kelakuanmu yang menjijikkan!” serunya, melirik sebentar pada Marry dan berlalu sambil mengibas-kan pakaiannya yang berdebu.

Marry sudah paham maksudnya, tapi ia harus membawa senjata untuk berjaga-jaga. Mon Ami bukanlah negara makmur yang damai. Ia hanyalah negara kecil yang penuh dengan kemelut dan para teroris, pembelot bahkan bandit liar yang datang hanya ingin mengacau dan mem-porak-porandakan kota. Kadang, jika ia berpergian ke kota, banyak sekali peluru nyasar yang tiba-tiba hinggap—tentu saja itu sangat berbahaya. Ia tak mau dirinya mati sia-sia seperti itu. Apalagi jika ia mati di tengah kota dan mayat-nya harus di buang ke laut. Ia pasti menyesal telah hidup. Setidaknya sebelum ia melakukan sesuatu hal yang ber-guna bagi hidupnya.
Marry menengok dua tamu Gina. Sepertinya ia per-nah melihat dua pemuda itu, tapi entah dimana, salah seo-rang dari mereka memperhatikan Marry dengan seksama. Marry tak tersenyum. Ia sama sekali tak menganggap bah-wa ia memang harus menghormati seorang Duke. Ia hanya ingin hidup seperti apa yang dia ingin dan ia begitu benci dengan norma. Gina meliriknya, memandangi Marry de-ngan tajam. “Kau ingin katakan sesuatu, Marry?” Tanya-nya setengah berekspresi mengejek.
“Apa dia saudaramu, kenapa kau tak mengenal-kannya pada kami?” Tanya salah seorang Duke yang be-rambut cepak.

“Tidak, aku yakin kalian pasti tak akan mau ber-kenalan dengannya. Ia hanya seorang buruh,” katanya sa-mbil meneguk minumnya.
“Oh, begitukah,” sahut yang satunya lagi. Wajah-nya langsung berubah, terlihat sekali ia begitu benci de-ngan kata-kata itu. “Itu pasti buruk. Tentu kami benci de-ngan buruh. Dirumah kami bahkan ada dua puluh orang untuk menjadi pelayan. Kami tak mau derajat kami turun karena kami harus berteman dengan seorang buruh!”
Marry hanya mencibir. Terlihat sekali dua pemuda itu langsung menyeringainya, menganggap dia jijik atau bahkan menganggap ia hanyalah sekumpulan sampah ya-ng tak pantas duduk di dekat mereka. Tapi Marry tak ingin mengambil hati perkataan mereka, itu sama saja dengan buang-buang waktu. Perkataan yang semacam itu memang sering sekali terlontar padanya, dan ia sudah terbiasa. Ia bahkan sadar akan siapa dirinya itu.

Saat berjalan menuju kekota, ia melihat banyak se-kali tentara yang berkeliaran sambil membawa senjata. Ada yang menggotong beberapa mayat, tapi ada juga yang ter-lihat bersiaga. Ia tak mungkin naik bus, atau ia akan kena jambret oleh beberapa bandit yang berkeliaran. Kemudian ia mengikuti jalur kekiri, dimana para pejalan kaki nampak begitu hikmat—berjalan tanpa berkomentar. Mereka semua kemungkinan akan menuju ke kota. Ada yang memakai cadar, ada juga yang nampak pede berjalan tak peduli menuju kearah para tentara. Beberapa tembakan terdengar keras. Marry menoleh kesamping, melihat seorang laki-laki terkapar dijalanan. Semua orang yang menoleh segera ber-lalu begitu saja. Mereka tak menggubris kejadian itu. Hal semacam itu memang sering terjadi. Dan rasa belas kasihan memang semakin lama semakin menghilang di dunia ini. Kengerian dan kesedihan merupakan hal yang wajar me-reka tonton setiap hari. Mereka malas menatap dan mereka berpikir sebuah giliran akan menyambut mereka menuju pemakaman.

Kemudian dari arah yang berlawanan dengan para tentara, tiba-tiba tembakan dari beberapa orang mulai ter-dengar. Kawanan itu mendekat dari arah kerumunan se-hingga suasana menjadi genting dalam seketika. Para ten-tara langsung menembak, mereka beradu senjata dengan kawanan itu. Hingga letusan bom terdengar begitu menge-rikan di telinga. Marry ikut menunduk bersamaan dengan banyak orang yang menepi. Mereka ketakutan, wajah me-reka langsung suram. Beberapa diantara mereka ada yang menjerit ketakutan dan satu tembakan meluncur kearah orang-orang itu, membuat yang lainnya yang terdiam lang-sung menjerit. Saat salah seorang diantara mereka ada ya-ng mati. Marry bersembunyi diantara tembok bangunan yang roboh bersama dengan beberapa orang yang me-nyebar. Seorang gadis kecil terlihat ketakutan bersembunyi dibelakangnya. Ia menangis, wajahnya kumal dan ram-buntnya benar-benar kusut. Ia mendekap Marry, bersem-bunyi di punggungnya dan nampak gemetaran melihat sekeliling yang berubah menjadi medan perang. Kemudian Marry mendengar ia terlihat berkomat-kamit berdoa. Satu tembakan meluncur kearah tempat mereka bersembunyi. Marry menyuruh mereka mundur dan tetap bersembunyi saat tembakan demi tembakan merobohkan bangunan di sekitar mereka. Dan saat gadis kecil itu hendak menjerit, Marry membungkam mulutnya menyuruhnya untuk diam. Ia menahan tangisnya, dadanya naik turun terus-menerus. Lalu Marry mencoba menembak dari sisi yang tak terlihat dari kawanan itu. Ia berusaha merobohkan orang-orang itu, dan saat mereka akan ke sisi bangunan paling dalam yang menuju kearah selatan, tiba-tiba beberapa kawanan itu langsung menyerang. Mereka menyekap beberapa ora-ng dan memasukkan mereka ke dalam truk. Marry hanya diam saat ia kedapatan membawa senjata dan mendapat hantaman keras dari salah seorang diantara mereka. Ia me-nunduk, dan ikut berbaris masuk ke dalam truk dimana ada beberapa orang yang terlihat terluka.

Marry masih diam. Ia tak bisa berbuat apa-apa tan-pa senjatanya. Dilihatnya gadis kecil tadi yang duduk pa-ling pojok. Matanya bengkak dan ia masih terlihat ketaku-tan. Semua orang di dalam truk itu juga terlihat ketakutan. Ada banyak pancaran tak terduga didalamnya. Namun Marry tahu ia harus menerima risiko ini. Kota memang se-lalu tak aman. Tapi bagaimana kakek selalu lolos dari para orang-orang kejam ini? Ia bahkan terlalu sering ke kota. Namun saat pulang, meski larut malam pun, ia tak nampak lecet atau bahkan punya bekas tembakan. Ia terlihat segar bugar bahkan ia terlihat bersemangat untuk berjalan-jalan lagi ke kota, dimana teman-teman seperjuangannya ber-kumpul.

Marry menatap salah seorang kawanan. Ada tiga wanita di sana. Dan umurnya ada yang lebih muda dari-nya. Mereka membawa senapan dan memakai jaket anti peluru. Wajah mereka sinis tanpa ekspresi. Entah dari ma-na mereka berasal. Tapi terlihat sekali bahwa mereka ter-biasa melakukannya.

Kali ini, Marry tak tahu ia akan di bawa kemana. Namun truk itu terus berjalan kearah Eldon tempat ia ber-asal. Dan nampaknya truk itu hendak ke bukit. Bukit Eldon adalah bukit suci, dimana orang-orang yang jahat dan ke-jam tak akan mampu berjalan sampai ke puncaknya. Tapi itu hanyalah mitos belaka, sementara yang sebenarnya adalah bukit Eldon tak akan pernah bisa di kuasai oleh penjajah. Itu karena para tertua Eldon—yaitu Elder adalah orang-orang yang hebat berkumpul di sana dan menjaga sebuah makam yang di anggap keramat. Mereka adalah orang-orang yang di percaya akan tetap mempertahankan daerah itu dari para penjajah yang mencoba menguasainya. Mereka tak takut mati, dan kebanyakan dari mereka bukan orang berambut pirang. Mereka adalah orang-orang Asia yang tetap mempertahankan sebuah kesucian daerah. Me-reka memiliki tradisi dan tata upacara aneh yang akan te-tap mereka lakukan semasa mereka masih hidup di dunia ini.

Saat diperjalanan, ia melihat kearah hutan Eldon. Hutan yang memiliki ribuan cerita dari banyak versi dari Mon Ami. Entah selalu ada saja cerita-cerita baru yang ber-munculan yang menceritakan betapa mengerikannya hutan itu. Hutan yang kini konon katanya menjadi saksi kunci banyak pembantaian yang terjadi di negara itu, dimana pa-ra teroris bahkan orang-orang yang mencoba menguasai negara itu membuang mayat-mayat yang telah mereka lumati dengan darah. Kehidupan telah berganti, dan hing-ga kini, kejelasan cerita itu masih belum mampu di buk-tikan. Tak ada yang berani masuk ke sana. Dan hanya dia yang tahu betul bahwa penghuni hutan itu sangat tak ber-sahabat. Mereka sekumpulan yang tangguh—sosok yang mampu membuatmu langsung menghembuskan nafas ter-akhirmu. Kengerian yang tak terkira. Pernah beberapa kali saat ia tengah berbaring di dalam hutan itu mendengar suara jeritan orang yang entah dari mana asalnya. Namun lebih tepat suara itu seolah berasal dari dalam hutan namun dengan tempo yang menggema hingga ia yang ter-lelap langsung siaga, menengok sekitar dan was-was jika ada yang menyerangnya tiba-tiba. Dan ia sering meng-hadapi sekumpulan pemilik hutan itu. Hingga tak hanya setetes ia curahkan demi menyelamatkan hidupnya, ia bahkan pernah sekarat. Meski begitu bibinya tak pernah ambil peduli. Ia tetap berada di sana meski larangan dari kakeknya selalu terlontar padanya. Entah sebenarnya apa yang ada di benak bibinya hingga ia selalu merasa bahwa sosok itu sama sekali tak mengharapkan ia hidup di dunia ini.

Kini, terlihat sekali wajah ketakutan orang-orang yang dibawa kawanan itu. Mereka tampak pucat dan le-mas. Menunduk dan bahkan ada yang terus berdoa sambil merapatkan tangannya dan berkomat-kamit. Ia juga me-lihat tetesan air mata yang mengalir dan suara jeritan hati orang-orang yang sebenarnya tak tahu harus di bawa ke-mana. Pukulan keras mendarat di salah satu orang-orang itu, laki-laki berpakaian serba hitam langsung melirik tajam kearah yang lain, menarik baju sosok cowok yang mencoba bertingkah mencurigakan dengan menyalakan Hpnya. Marry hanya menatapnya suram, tak ada komentar dan be-gitu pula yang lain yang tampak terdiam bagai mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Truk itu pun berhenti di sebuah bangunan besar berbentuk gudang. Tampak banyak orang yang berkeliaran dengan senjata mereka. Mereka tampak serius, ada yang mengomando dan memberikan perintah. Ada yang sedang berbicara dengan yang lain. Selebihnya tampak berjaga-jaga.

Kemudian ia dan kawanan lainnya di giring masuk ke dalam gudang itu. Mereka di dorong masuk oleh kawa-nan itu, ada yang berjaga-jaga mengawasi para tawanan itu. Mereka tampak siaga. Marry hanya menunduk. Ber-jalan begitu pelan mengikuti yang lain yang masuk ke dalam markas kawanan itu. Ada sekitar dua puluh orang lebih yang menjadi tawanan di sana. Wajah mereka tampak kusut. Lalu Marry melihat Amor. Dia adalah seorang bang-sawan ternama di Eldon. Ia juga berada di sana. Entah apa yang dia lakukan di kota sehingga ia harus ikut terjarah oleh kawanan itu. Marry kemudian duduk. Masih mem-perhatikan Amor. Gadis berambut ikal sebahu itu mena-tapnya. Namun tak ada komentar yang terlontar dibibir-nya. Marry memang mengenalnya. Namun ia tak dekat dengan Amor. Amor adalah seorang bangsawan yang me-nganggap rendah rakyat jelata seperti dirinya. Ia bahkan pernah mencemoohnya. Ia selalu membanggakan keka-yaan ayahnya yang berlimpah. Ia bahkan sesumbar bahwa suatu hari ia akan menjadikan Eldon miliknya. Negaranya Yang Terhormat dan ia akan mencoba mengalahkan pamor Ratu Inggris Yang Terhormat. Tentu saja, tak hanya Marry yang akan tertawa mendengarnya namun mungkin seratus budak atau bahkan seribu manusia yang menganggap per-juangan itu normal lah yang akan mengerti bahwa yang ia katakan itu hanyalah omong kosong. Sesuatu yang bahkan nol dan sulit untuk diraih. Bukan karena kami memang tak percaya itu asa dan keberuntungan. Namun karena kami memandang fakta itu takdir yang terbelanggu dalam se-buah perjuangan dengan darah.
Marry Harrison gadis yang hanya terdiam itu men-coba bersandar. Raut wajah para tahanan terlihat mencair. Namun, diantara mereka juga masih banyak yang terlihat ketakutan. Mereka bahkan terlihat terus-menerus berdoa. Ada yang bilang menjadi sandera itu berarti mengantarkan nyawamu pada peti mati usungan. Peti dimana kau tak akan pernah melihat sang surya menyapamu lagi. Ia akan meninggalkanmu, terlebih nyawamu tak lebih berarti dari sebuah rongsokan di jalanan.
Suara seseorang menerima telepon membuat ia tersadar dari lamunannya sesaat. Laki-laki itu berbicara de-ngan nada yang begitu keras. Matanya melotot seolah mau mencuat keluar, bibirnya terkatup-katup dan ekspresinya menanar. Ia kemudian membentak anak buahnya yang be-rada di dekatnya. Mereka langsung siaga dan memandang sosok itu dengan seksama. Mendengarkan omongan pedas yang terlontar dari seorang kawanan asing yang ingin memberontak kedamaian.

“MEREKA BILANG TAHANAN KITA TAK ADA NILAINYA. MEREKA MENGANGGAP BAHWA ME-REKA PANTAS MATI DAN KITA BOLEH MEM-BUNUHNYA ATAU BAHKAN MENJUALNYA MEN-JADIKAN MEREKA BUDAK MILITER DI AMERIKA. ME-REKA MENGIJINKAN KITA UNTUK MENGUASAI DAE-RAH KECIL DI MON AMI INI. DAN MEREKA MENGI-NGINKAN SEDIKIT KESUNYIAN DI KOTA. MEREKA MEMANG ORANG-ORANG SINTING! DAN ITULAH YANG TERLONTAR DARI MULUT SEORANG PIMPI-NAN NEGARA!” gelegar laki-laki itu serasa ingin mem-banting handphonenya. Anak buahnya hanya menunduk, kemudian tampak diantara mereka yang mengeleng dan menatap para tawanan dengan tatapan kosong. Dan Marry yang mendengar itu tahu maksudnya. Bukan hanya ia, dua puluh orang lebih itu juga tahu maksudnya. Mereka hanya terdiam dan tak berkomentar. Namun hati mereka terasa bergejolak dengan ribuan makian untuk manusia yang in-gin mereka kutuk. Begitulah cara pandang sebuah nyawa disini. Harga sebuah tawanan taklah berharga jika kau bu-kan seorang bangsawan berpangkat LORD. Kau hanyalah manusia rendah yang sewaktu-waktu akan di pandang bagai tak pernah ada.

Amor yang mendengar pembicaraan itu ingin me-nangis. Ia bahkan terus menahan tangisnya. Ia bukan apa-apa lagi. Begitulah yang kini terlintas dibenaknya. Entah apakah orang tuanya mampu menebusnya pada kawanan itu? Ataukah nasibnya akan semalang nyawa seorang bu-dak dan buruh? Bagaimana jika hidupnya di jual oleh pe-merintah dan ia akan menjadi tentara sukarelawan yang mengabdi pada negara seumur hidup tanpa uang sesen pun sebagai imbalan? Ia pun menangis. Tapi percuma ka-rena ia kini berada di tempat yang sungguh tak bersahabat.
Laki-laki tadi kemudian berkata pada anak buah-nya. “Akan kita apakan para tawanan ini? Apakah kita bebaskan mereka? Apa kita masih menyandra mereka ha-nya untuk berjaga-jaga? Ataukah kita jadikan mereka se-bagai bala tentara kita karena kita juga butuh itu?”

“Tuan, nampaknya mengembalikan mereka pada asalnya bukan jalan yang tepat. Menjadikan mereka tentara itu pun jika mereka memang tak punya dendam dengan kita. Bagaimana jika mereka membalas dan malah meng-hancurkan kita? Nampaknya pilihan menjual mereka ke Possum adalah jalan yang terbaik. Kita akan dapat untung dan kita tak perlu repot mengurusi tawanan yang tak ber-nilai seperti mereka.”
“Kau benar, kita memang harus menjualnya. Na-mun sungguh tak kusangka sebuah negara seperti Mon Ami mampu menganggap nyawa kaumnya sungguh tak bernilai. Ternyata ada yang lebih biadap dari seorang pem-berontak!” desis laki-laki itu pada anak buahnya. Sosok itu pun hanya mengangguk. “Tuan! Ini adalah Mon Ami. Per-sahabatan tak pernah terukir di sini. Yang ada hanyalah darah dan pertikaian. Tempat ini memang penuh dengan kemelut tak kalah dengan negara Rusia—Possum.”
“Ya, dan aku begitu beruntung negaraku tak me-nelantarkanku!” kata pimpinan itu sambil menyeringai.

Marry mencari ide. Dari tadi ia terus berpikir serius. Ia harus memikirkan sesuatu atau ia akan menjadi barang dagangan peperangan. Tentunya itu hal yang paling ia benci. Ia memang takut mati, dan bukan berarti ia tak berani mati. Hanya saja, kini waktu yang bergulir dihidup-nya terasa terang saat lembaran The Grizzlies School itu menyapanya. Menyampaikan bahwa ia mampu berkesem-patan menjadi seorang Revenant dan merubah hidupnya yang malang. Ia punya kesempatan! Dan apakah ia akan menyia-nyiakan itu kini? Kemudian pimpinan para kawa-nan itu keluar bersama dengan beberapa anak buahnya. Sepertinya ada sesuatu yang harus mereka kerjakan. Amor dan banyak tawanan itu masih menatap ngeri diri mereka. Ada yang ketakutan, ada yang terlihat pasrah bahkan ada yang terlelap. Entah karena pingsan ataukah karena ia sadar bahwa ia memang bukan apa-apa di dunia ini.

Kemudian, ia punya sebuah ide yang tiba-tiba ter-lintas. Bagaimana jika ia menggunakan Possum—kekua-tannya. Namun, Tracy berkata bahwa kemampuan itu akan sangat berbahaya jika ia gunakan. Bisa-bisa ia akan di ke-jar-kejar oleh banyak orang yang menginginkannya men-jadi seorang bala tentara peperangan. Tentunya itu akan membuat ia bertambah sulit menghadapi kehidupannya.
Marry memperhatikan Amor. Gadis itu kini benar-benar tampak ketakutan. Matanya pucat dan ia terus ge-lisah. Marry tahu bahwa gadis itu berpikir kenapa ia harus berada di sana. Harus ada di tempat yang sungguh me-ngerikan. Dimana ia yang harusnya di hormati kini nam-pak tak berdaya dan tak di kenal orang. Apa hanya sedikit saja manusia yang mengenalnya? Ataukah memang karena ia hanyalah sekumpulan manusia yang tak beruntung? Gadis ikal itu pun menoleh ke Marry Harrison, mena-tapnya. Ia sebenarnya ingin mengejeknya. Namun kini po-sisi mereka hampir sama. Bagaimana jika ia benar-benar di jual ke Possum? Maka dalam sedetik ia akan berubah derajat menjadi seorang budak yang malang. Budak yang dianiaya, budak yang di cela. Begitukah yang akan terjadi pada hidupnya nanti? Tetesan airmatanya mengalir kini. Ia bahkan semakin takut saat menatap sekelilingnya, manu-sia-manusia tak berdaya itu juga nampak begitu ke-takutan. Mereka terlihat takut karena keadaan mereka kini sungguh tak menguntungkan.

“Aku pasti bisa,” bisik Marry pada dirinya sendiri. “Aku pasti mampu mencari jalan keluarnya,” katanya lagi mencoba menekankan hatinya yang ragu. Lalu terbesit sebuah cara untuk meloloskan diri dari sana. Yeah, ia pasti mampu melakukannya. Lalu dengan berani Marry me-ngancungkan tangannya, membuat beberapa penjaga me-natapnya. “Bolehkah saya pergi ke kamar kecil?” tanyanya dengan keras dan sedikit ragu.
Beberapa kawanan itu saling berpandangan dan memberikan kode satu sama lain. Lalu seorang diantara mereka mengangguk. “Baiklah, tapi kau harus di kawal!” seru salah seorang kawanan itu pada Marry. Marry merasa begitu lega setelah mendengar hal itu. Tentu saja, ia sama sekali tak mengira bahwa kawanan itu akan mengijinkan-nya. Biasanya mereka selalu melarang, atau tawanan harus menunggu hingga keadaan benar-benar aman.

Kemudian Marry berdiri. Lalu ia benar-benar ter-kejut ketika sosok Amor ikut berdiri. Gadis itu ikut me-ngancungkan tangannya. Matanya melotot pada Marry. “Aku juga ingin ke kamar kecil,” gumannya. Beberapa di-antara para tawanan nampak berbisik, menatap gadis itu penuh dengan seribu pikiran. Lalu kawanan itu melirik pa-da temannya. “Jika kalian macam-macam maka aku tak akan segan-segan menembak kalian!” serunya. “Harusnya kalian tahu diri bahwa kalian taklah lebih dari seogok nyawa yang tak berarti apa-apa. Negara kalian telah me-nelantarkan kalian, dan itu artinya nyawa kalian sama dengan harga seorang budak!”
Marry hanya menyengir, ia tahu. Ia sudah tahu kalau nyawanya memang tak berharga namun begitukah cara mereka memandang dirinya. Sosok yang tak berdaya yang lebih pantas mati daripada hidup? Apakah ia tak bo-leh punya pikiran yang bebas? Apakah selamanya ia akan terbelenggu dalam norma budak? Dan apakah ia tak boleh bermimpi? Pikiran itu menyelemutinya. Ia tak bisa berkata apa-apa toh negara juga membiarkan ia merana, bersama dengan banyak orang yang seolah menunggu kapan giliran mereka di pasung.

Ia berjalan gontai di depan, dibelakangnya menyu-sul Amor—entah apa yang sekarang ada di benak gadis itu. Ia juga tak mengira Amor akan mengatakan hal serupa pada kawanan itu. Mungkinkah gadis itu memiliki niat ter-sembunyi? Marry melirik gadis berambut ikal itu, yang berjalan cukup pelan sambil terus menatap tajam ke depan. Sementara di belakang mereka dua pengawal bersenjata siap mengawasi gerak-gerik mereka yang mencurigakan dan tak akan segan-segan menembak dua gadis itu jika mereka kedapatan berprilaku ganjil. Kamar kecil itu cukup jauh jaraknya dari markas mereka. Sebenarnya Marry kenal betul daerah itu. hutan yang melintang dan penuh dengan pepohonan raksasa itu adalah tempat dimana ia hidup. Ia menganggapnya demikian karena tiap malam hanya tem-pat itulah saksi dimana ia tengah terlelap dengan masalah-masalahnya, dengan kesedihannya dan bagaimana dunia memperlakukannya begitu buruk. Meskipun ia tahu bahwa tempat itu sangat berbahaya, namun karena terbiasa, Marry menganggap bahwa tempat itu adalah tempat ting-galnya. Sering ia mendengar suara lolongan serigala, makhluk buas lain yang seolah merong-rong dan mencoba memperlihatkan kekuasaanya.

Marry Harrison berjalan begitu pelan saat ia tengah berada di dalam hutan. Matanya terus menerawang kearah Amor. Gadis itu tampak diam, tak ada tanda-tanda dia akan melakukan sesuatu perlawanan pada dua kawanan itu. Ia masih tetap diam tak berkomentar meskipun dua ka-wanan itu terus melototinya. “Dia tak akan lakukan apa-pun untuk menyelamatkan dirinya,” pikir Marry gentir. Wajahnya pucat menerawang kearah hutan dan mereka nyaris sampai di tempat dimana mereka tuju. Kamar man-di di tempat itu hanya berada di daerah yang jaraknya cukup jauh dari tempat markas para kawanan. Sehingga butuh banyak waktu untuk sampai ke sana.
Suara-suara menakutkan mulai terdengar. Lolongan nyaring sang penguasa hutan membuat dua kawanan itu langsung bersiaga. Mereka menenteng senapannya dan memegangnya erat jika tiba-tiba ada beberapa binatang buas datang menyerang mereka. Rasa takut terpancar dian-tara dua wajah kawanan itu. Mereka mungkin tampak a-sing meski mereka adalah orang-orang yang terlatih. Amor sedikit memucat, namun ada secuil senyum aneh yang me-nghiasi wajahnya. Senyum kemenangan, seolah ia sung-guh-sungguh menunggu apa yang ia inginkan. “Tempat ini terkenal begitu angker. Aku heran mengapa kalian mau membuat markas di tempat yang justru jarang di huni orang!” serunya. Dua kawanan itu langsung melotot ke-arah gadis ikal itu yang tersenyum penuh arti.

“Ada ribuan mayat disini. Aku memang hanyalah seorang tawanan kalian, tapi sungguh tak kuduga kalian rela mengorbankan diri kalian demi binantang yang ingin mencabik-cabik tubuh kalian dengan sadis.”
“Tentunya kau yang akan jadi mangsa mereka du-luan,” kata salah seorang kawanan itu mendorong tubuh Amor dengan senapannya agar ia berjalan lebih cepat. “Kau hanyalah tahanan tak bernilai yang menjijikkan. Ha-rusnya kau sadar siapa dirimu,” lanjut kawanan itu.
“Aku sadar siapa diriku, setidaknya aku sudah pe-ringatkan pada kalian. Mon Ami memang negara dingin. Kami bukanlah negara hebat seperti Jerman, Inggris atau bahkan Amerika. Kami hanyalah negara yang penuh ke-melut yang tak akan habis untuk terus beradu dengan senjata setiap harinya. Dan harga nyawa disini tak ubahnya seperti harga sebuah debu di jalanan. Lantas apa yang ka-lian inginkan dari kami sehingga kalian masih menyekap kami?” tanyanya.
Kawanan itu meliriknya. “Tentunya jika kau tidak tutup mulutmu aku bisa menembakmu!”
“Tembak saja, toh nanti kami juga mati, itu hanya urusan waktu,” tantang Amor. Ada rasa kegentiran di ma-tanya.
Marry hanya mendengarkan. Tak ada komentar apa-apa dari mulutnya. Kadang, diam adalah jalan satu-satunya agar kau bisa terbebas dari masalah. Sungguh jika kau tiba-tiba salah ucap maka dalam sedetik kau sudah berada di dalam jurang kengerian hidupmu. Ia kemudian di dorong maju kedepan. Ia melirik Amor, tak ada lirikan balasan dari gadis itu. Ia hanya terdiam setelah apa yang ia ucapkan tadi cukup berani. Marry sama sekali tak me-nyangka hal semacam itu akan terlontar di bibir gadis itu. Gadis yang selalu membawa bendera kebebasan. Gadis ya-ng membawa lencana sebagai bangsawan yang cukup ter-sohor di Mon Ami. Tapi kini kata-katanya tak ubahnya bak kata seorang pejuang, seorang yang teraniaya yang ingin mengukuhkan sesuatu sebelum ia benar-benar tiada.
Marry masuk ke dalam kamar mandi itu. Ia men-coba untuk berlama-lama, karena ia tahu betul tempat itu. Di tengah malam seperti itu, serigala pasti sering ber-keliaran di sana. Dan jumlahnya tak sedikit. Ia pernah nya-ris mati dulu, saat tiba-tiba ada segerombol serigala yang menyerangnya secara bersamaan. Untung ia bisa lolos meskipun tubuhnya penuh dengan banyak luka hingga nyaris sebulan ia harus tidur berbaring dikamarnya. Se-lama beberapa menit ia tak mendengar suara apa-apa. Padahal ia terus menunggu, menunggu sebuah reaksi yang tak terduga yang tiba-tiba muncul. Menunggu sesuatu ya-ng sekarang benar-benar ia butuhkan. Ia butuhkan kea-jaiban itu sekali pun ia harus korbankan nyawa orang lain. Tapi hanya itulah salah satu cara agar ia tetap hidup. Marry menundukkan wajah. Selama beberapa menit ia te-rus berdoa. Ia menatap suram sekitar yang tampak petang. Tak ada cahaya apapun di sana. Kemudian ia mendengar suara Amor yang berteriak-teriak dari samping. Jeritannya begitu melengking. Marry yang tadi tertunduk mencoba merapatkan tubuhnya ke pintu. Ia mendengar Amor me-ngatakan sesuatu meski itu tak jelas apa karena banyak sekali suara-suara aneh yang bermuculan. Suara tembakan satu persatu terdengar, begitu nyaring dan menyayat. Marry tak bergerak ia masih terus berdoa. Entah apakah ia bisa selamat atau tidak kali ini. Tapi ia tak mau bergeming. Ia tetap terdiam membisu menunggu semuanya hening. Menunggu semuanya tenang sekali pun itu harus ia kor-bankan dengan beberapa jam kemudian ia tetap berdiri disana. Ia akan tetap tunggu itu. Sampai semuanya benar-benar terasa sunyi.
Suara teriakan manusia dan jeritan-jeritan terdengar begitu keras dari arah luar. Membuat Marry hanya me-matung tak berkomentar. Ia juga sempat mendengar suara Amor yang terus berteriak, juga suara orang menggedor-gedor pintu meminta tolong. Tapi Marry, masih tetap sama. Ia tak mau ambil peduli dengan apa yang didengar-nya. Ia tetap berdiri di sana meski airmatanya terus me-netes tiada henti. Ia merasa wajahnya basah, tapi ia juga merasa benar-benar ketakutan saat itu. Tembakan demi tembakan kemudian terdengar lagi lebih nyaring dan lebih menyayat. Entah apa sebenarnya yang terjadi diluar sana. Meski tak tahu persis apa yang terjadi namun dalam hati Marry, ia tahu bahwa keadaan itu akan datang. Keadaan dimana sang penguasa hutan ikut ambil dalam kehidu-pannya.
Begitu lama ia menunggu hingga semuanya hening. Lama, lama sekali. Kemudian ia tersadar bahwa sekeliling-nya benar-benar sepi. Marry mencoba menarik nafas pan-jangnya. Ia masih was-was takut jika saat ia membuka pintu itu ia justru temukan sesuatu yang tak diduganya. Wajahnya benar-benar pucat saat itu. Rasa khawatir dan rasa takut bercampur menjadi satu. Secara perlahan-lahan ia pun membuka pintu itu setelah nyaris dua jam lebih ia terkurung di dalam ruang pengap itu. Ia menatap malam bertambah larut saja. Pandangannya terarah pada sesosok mayat yang tergeletak bersimbah darah. Ia tertelungkup penuh dengan bekas koyakan makhluk buas. Itu adalah tubuh Amor. Kakinya penuh luka, dan ia mati dengan cara yang begitu mengerikan. Matanya melotot dan ada bekas tembakan di kaki kirinya. Wajah lusuh itu membuat Marry ngeri. Ia sama sekali tak mengira bahwa Amor akan ber-akhir sedemikian sadis. Andai ia mampu memberi tahu bahwa keadaan hutan akan begitu menakutkannya jika malam, mungkinkah sosok itu akan selamat? Dan apakah meskipun ia telah memberitahu maka kawanan itu tak akan menembaknya?
Tak jauh dari mayat Amor berada, Marry menemu-kan dua mayat kawanan itu. Nasih mereka tak lebih baik dari Amor. Dengan tangan setengah memegang senapan tubuh mereka penuh dengan banyak darah mereka sendiri. Wajah mereka tak berbentuk dan banyak sekali bekas caka-ran binatang buas di sana. Marry mengamati mayat me-reka dengan ngeri—tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi jika ia tadi keluar. Apakah ia juga akan mati dan tak akan lihat masa depannya lagi? Apakah ia tak bisa melihat sekolah paling ternama di dunia itu? Yang selalu diagungkan banyak manusia hingga rasanya harga sebuah nyawa tak akan mampu membayar kemegahannya yang mempesona di sana. Tak akan mampu membayar bagai-mana orang yang berkuasa mampu hidup hingga rasanya bagi mereka yang terus memimpikannya akan tetap ber-harap dan rela membunuh ratusan atau bahkan ribuan nyawa demi sekedar menjadi bagian dari kemegahan dunia itu. Inilah hidup, meski sulit namun hanya ada kata takdir yang terlintas dihari-harinya. Saat ia merasa me-nyesal ia hanyalah manusia tolol yang merasa tak pantas untuk hidup, dan ia hanyalah sekumpulan sampah yang mencoba menjadi ada. Ada banyak impian yang masih ia punya membuat ia terus berusaha dan tak menyerah, sekali pun ia hanyalah bagian dari yang tersisih itu, tapi se-tidaknya ia telah mencoba merangkul apa yang ia mau. Ha-nya satu yang paling berharga yang ia punya dalam hidup-nya. Dan itu adalah ASA….

---
Marry berjalan jauh. Di tengah malam yang hening, dengan berbekal senapan milik kawanan tadi, ia pun mencoba kembali ke rumahnya. Memang, tempat dimana ia tinggal sangatlah jauh apalagi malam membuat ia se-makin takut—kalau-kalau ada banyak binatang buas yang akan menyerangnya seperti yang terjadi pada temannya Amor. Ia tak mampu membayangkan sebegitu takutnya ia bila berhadapan dengan binantang buas itu. Meski mereka nampaknya tampak tak sebegitu ganas bila harus diban-dingkan dengan senapan, tapi bila jumlahnya ratusan ten-tunya satu atau dua senapan tak akan berguna. Dan hutan itu adalah hutan paling rimba di Mon Ami. Hanya orang tolol yang tak tahu bahwa tempat itu benar-benar berba-haya.

Saat di perjalanan, ia kembali teringat Gina. Bagai-mana mungkin ia bisa kembali pulang tanpa membawa pesanan Gina. Gadis itu pasti akan melolong dan menga-tainya pecundang atau mungkin ia akan kena hukum cam-buk bibinya lagi. Apakah mereka akan percaya jika ia katakan yang sebenarnya? Apakah mereka akan iba dan mengatakan begitu menyedihkannya nasibnya atau seti-daknya membiarkannya tenang selama beberapa saat tan-pa harus kena omelan pedas yang akan terlontar dari setiap bibir mereka. Atau mungkin, mereka justru sedih karena menganggap mengapa ia masih hidup! Seharusnya ia mati karena itu akan lebih baik bagi mereka. Pikirannya menjadi tak karuan. Di tengah malam yang dingin Marry Harrison terus berpikir. Gadis itu tak henti-hentinya menyiratkan rasa kekhawatiran yang mendalam.



Kemudian ia pun sampai ke rumah tua itu. Dimana bibinya sudah menunggunya dengan tatapan nanar. Gina gadis berambut panjang itu juga menyerngitkan alisnya se-senti. Mereka seolah telah lama menunggu dirinya. Marry dengan gontai berjalan menapaki ruangan itu dengan pan-dangan keluarganya yang seolah ingin menelannya hidup-hidup. “Dari mana saja kau!” teriak bibi Ruth wajahnya su-dah merah padam. Ia menatap Marry memandang jauh ke dasar bola matanya seolah menerawang apa yang ada di-dalamnya. Marry tak mampu menjawab. Kadang, ada ba-nyak hal yang memang tak bisa langsung diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih itu sesuatu yang seolah tak pen-ting apakah penjelasannya mampu mereka cerna atau ti-dak. Mungkin juga mereka menganggap semua itu ha-nyalah omong kosong dimana sebuah pembelaan diri tak lah penting lagi baginya.
“Jawab!!” seru Gina suaranya melengking.
“Ada yang menawanku dan kami di sekap oleh segerombolan kawanan yang..” kata-katanya terputus.
“Alasan,” timpal Gina. “Aku yakin itu cuma bua-lannya saja. Ia pasti malas menerima tugasku atau mung-kin ia mencoba menemui seseorang di luar sana.”
Tepat seperti dugaan, begitulah yang terlintas di benak Marry. Ia tahu betul kalau kata-kata itu pasti akan terlontar di antara mereka, dan kini ia benar-benar men-dengarnya. Bayangannya tak lagi khayal. Dan kadang ia terlalu tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
Sebuah tamparan kasar mendarat di pipi Marry. Gadis itu langsung menjerit saat bibinya menselancarkan tangannya ke pipi gadis itu. Ia nampak geram, matanya su-ram dan ia nampak sangat marah pada gadis yang kini benar-benar terlihat sangat kumal itu. Tubuhnya begitu ko-tor, bajunya seolah penuh lumpur dan debu. Kakinya se-tengah berdarah, namun dalam kondisi seburuk itu hara-pan dimatanya sungguh tak ada. Ia sungguh tak di per-cayai oleh keluarganya. Dan setiap ucapannya bagi mereka hanyalah dusta. Meski separuh tubuhnya penuh luka. Tak ada keluhan yang terlontar di bibir Marry. Ia hanyalah gadis pasrah. Ia memang tahu hakikat kehidupannya. Dan ia tak mengeluh akan semua hal itu sekali pun ia harus mati atau terlentang tanpa nyawa karena bibinya. Begi-tulah hidupnya. Perjuangannya, nafasnya, seluruhnya de-mi keluarganya. Keluarga yang membesarkannya. Yang memungutnya dari kemalangan, mengadopsinya dari de-ras darah yang mengalir dipeperangan. Sekali pun nyawa-nya tak lah berharga namun ia dengan tegar tetap ter-senyum, dan berkata pada hatinya, “aku…mencoba untuk tak mati sekalipun aku tahu, bahwa nyawaku hanyalah sebuah debu!”

Diary Tertinggal Marry Harrison…

Aku sungguh tak ingin menangis, tak ingin lelah
Namun jantungku terus berdetak sangat pelan hingga aku sendiri tak sadar apakah aku benar dekat dengan kematian itu….
Aku ingin tak katakana lelah, namun perasaanku menuntunku untuk berhenti berjalan. Apakah aku mampu katakan pada Tuhan bahwa aku tak pernah ingin mati. Aku hanyalah secuil harapan itu, yang tak pernah dimengerti kehidupan…

0 komentar:

Posting Komentar

free counters